BPS melansir pertumbuhan ekonomi Kuartal II/2021 sebesar 7,07% (year-on-year). Tertinggi dalam 17 tahun, hampir menyamai masa pemerintahan SBY.
Mayoritas masyarakat mungkin tidak peduli angka itu. Selama pandemi, kenyataan di lapangan adalah masyarakat mengeluh ekonomi makin sulit. Masyarakat yang mana? tentu bukan penduduk Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih dari US$1 juta (Rp14 miliar), yang menurut laporan Credit Suisse, pada 2020 jumlahnya naik 61,69% dari 2019. Sementara jumlah yang sangat kaya, artinya memiliki kekayaan lebih dari US$100 juta (Rp1,4 triliun), sebanyak 417 orang (naik 22,29% dari 2019).
Selama pandemi, orang makin kaya. Ekonomi tumbuh. Buat orang-orang itu. Ya, masak 417 orang itu tidak mau patungan Rp4,79 miliar/orang buat gantikan prank Akidi Tio Rp2 triliun itu. Kasihan masyarakat sudah berharap banyak. Masak kita cuma dengar angka saja.
Siapa contoh orang sangat kaya itu? Ya, keluarga Salim, salah satunya. Harian Kontan (5/8/2021) menulis: "Jejaring Bisnis Grup Salim Semakin Membesar Lagi",
Saya rasa editor Kontan menulis judul itu dengan penuh gairah atau terselip semangat perlawanan kelas proletariat. Sudah 'semakin', 'membesar', pakai 'lagi' pula. Artinya adalah dulu, sekarang, dan ke depan, tetap BESAR.
Yang emiten di bursa ICBP, IMAS, IMJS, DNET, MEDC, ROTI, LSIP, SIMP, FAST, DCII, META, EMTK, BINA; yang non-bursa adalah PT Aetra Air Jakarta, Lotte, CBN Group, PT Rintis Sejahtera, Rocket Inc (Lazada dan Zalora), Fiberstar, Bank Mega, dan Mount Pleasant.
Bangun tidur sampai tidur lagi, Anda selalui ditemani produk Salim.
Laporan menyebut 20% konglomerat menguasai aset di bursa saham. Tiga terbesar adalah keluarga Salim Rp175,32 triliun, Grup Djarum Rp466,64 triliun, Astra Rp174,31 triliun... Apakah sumbangan mereka Rp2 triliun? Ditunggu pengertiannya.
Bagaimana caranya supaya seperti mereka? Menabung? Tidak mungkin. Selama pandemi, asal tahu saja, bank itu makin ambil untung besar. Berdasarkan asesmen Bank Indonesia, selama Maret-Mei 2021, harga pokok dana untuk kredit (HPDK) turun 14 bps dari 3,28% menjadi 3,14% yang dipicu penurunan suku bunga deposito 1 bulan sebesar 20 bps. Harusnya HPDK turun, suku bunga dasar kredit (SBDK) juga turun. Tapi ternyata perbankan masih berusaha cari untung sebesar-besarnya di tengah pandemi. Margin keuntungan ternyata naik 8 bps dari 2,43% menjadi 2,51%. Biaya operasional (overhead cost) juga naik 3 bps, padahal pada WFH. Bank-bank BUMN paling besar menaikkan margin keuntungan selama Maret-Mei 2021 yakni 10 bps. (Kompas, 4 Agustus 2021).
Apa berakhlaknya kalau begitu?
Akhlak gak jelas. Macam yang terjadi hari ini di Pupuk Indonesia. Bekas terpidana korupsi yang juga politisi PDIP jadi Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda. Secara hukum memang betul dia telah menjalani. Tapi apa tidak ada orang lain di Indonesia?
Pertanyaan itu salah. Sebab di Indonesia ada kecenderungan pengangkatan pejabat berdasarkan tiga kriteria saja: 1) sangat berjasa bagi karier orang yang mengangkat; 2) pegang kartu truf orang yang mengangkat; 3) lagi ada bisnis di antara keduanya.
Anggaran perawatan 14 pabrik pupuk di bawah PT Pupuk Indonesia itu setahunnya mencapai Rp70 triliun. Itu anggaran diambil salah satunya dari subsidi langsung pemerintah. Masalahnya adalah siapa perusahaan rekanan langganan untuk merawatnya? Anda bisa kira-kira dari nama belakang menteri yang silsilah keluarganya adalah pionir dunia perpupukan nasional.
Ngalor-ngidul bicara, pertanyaan kuncinya adalah jika mereka pada 'mengolah', lalu kita yang kaum jelata ini 'mengolah' apa?
Menabung, dimakan inflasi dan margin bank yang tinggi; menunggu sumbangan, kena prank; main saham, kalah modal dan jadi korban guyuran bandar (nuruti Kaesangmology malah salam cut loss); buka usaha, dirazia Satpol PP; nyalon wali kota, bukan anak presiden; ngolah kasus, makin banyak yang minta jatah; jualan online, kepotong biaya admin dan potongan aplikasi; mau sekolah tinggi-tinggi sampai profesor seperti rektor UI, ujungnya cuma jadi bahan bully...
Masak kita perlu jadi koruptor dulu supaya diangkat komisaris.
Salam Olahan.
(Agustinus Edy Kristianto)