DAHLAN ISKAN KETIBAN SIAL
Oleh: Ahmad Khozinudin (Advokat Muslim)
Saat beredar kabar ada bantuan sebesar Rp 2 triliun dari kelurga konglomerat Akidi Tio, Dahlan Iskan (Jurnalis Senior) ikut menulis dan mengharumkan kabar tersebut. Wajar, ditengah kesulitan akibat pandemi ada orang yang menyumbangkan duitnya Rp. 2 Triliun, itu sesuatu banget. Dan tulisan yang sifatnya melambungkan khayalan publik, biasanya pasti digemari.
Bahkan, tidak cuma Dahlan Iskan yang ikut menggoreng kabar itu sehingga menjadi lebih harum, sejumlah buzzer juga ikut mengekploitasi kabar itu untuk menyerang tokoh Islam. Misalnya, membandingkan angka Rp. 2 Triliun itu dengan sumbangan umat Islam melalui sejumlah tokoh yang hanya beberapa miliar ke Palestina. Akidi Tio dianggap lebih cinta bangsanya, lebih besar pengorbanannya, ketimbang para 'kadrun' yang cuma sibuk menyumbang untuk Palestina.
Namun, ternyata duit Rp. 2 Triliun itu tidak cair, mungkin juga tidak bisa cair, atau bahkan DUIT ITU TIDAK ADA. Media, masih mengabarkan dengan bahasa halus 'belum cair'. Dahlan ikut sibuk memverifikasi kabar dengan menyebutkan kemungkinan Senin (2/8/2021) akan cair, walau faktanya hari ini tidak cair. (Update: Ternyata Duit 2 T Hoax)
Dana yang konon menurut hikayat ada di salah satu Bank di Singapura itu tidak jelas, kapan batasan belum cair itu menjadi sudah cair. Kapan duit 2 triliyun itu bisa segera dimanfaatkan warga Sumsel untuk menanggulangi Pandemi Covid-19.
Pagi ini, Dahlan sibuk menulis artikel dengan judul 'Harapan 2 T'. Isinya, semacam 'pledoi' atas kecerobohannya yang tergesa-gesa menggoreng bantuan Rp 2 T hingga menjadi harum se NKRI. Bahkan, Dahlan juga berjanji akan menulis seri ke-2, tulisan awal hanya prolog cerita tentang orang yang di PHP pembayaran duit 5 Miliar.
Dahlan tidak keliru, hanya kebetulan ketiban sial saja karena ikut memviralkan bantuan duit 2 Triliun yang faktanya zonk. Secara jurnalistik, Dahlan sudah menerapkan kaidah 5 w 6 h. Kabar yang ditulis Dahlan bukan hoax, yang hoax itu duit Rp 2 Triliun di Singapura.
Memang, disebut belum cair. Tapi tak ada satupun orang yang berani menggaransi duit itu kapan cair. Tidak juga Dahlan Iskan. Kecuali, Dahlan merogoh kocek pribadinya Rp 2 triliun, disetorkan dengan underlyng 'SUMBANGAN AKIDI TIO'.
Tapi apapun, kredibilitas Dahlan sebagai seorang jurnalis jadi merosot. Untungnya, Dahlan termasuk orang yang beretika, jujur, sehingga berani menulis untuk memperbaiki kesalahannya.
Penulis sendiri, selain menerapkan kaidah 5 w 6 h, juga memperhatikan perspektif ideologi dan nilai-nilai yang diadopsi masyarakat. Penulis juga sering memperhatikan arus, sebelum ikut menyelam atau berselancar diantara gelombang opini.
Dalam sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan uang sebagai tuhan, rasanya mustahil muncul dimensi filantropi seperti kabar yang ditulis Dahlan. Itu karena akidah kapitalisme berorientasi pada materialisme.
Sejumlah corporat atau milyarder membentuk divisi CSR atau lembaga sosial, atau dimensi filantropi, bukan atas kesadaran itu perintah Allah SWT yang memberikan pahala berlipat kepada hambanya yang banyak bersedekah. CSR yang dibentuk perusahaan, hanyalah 'permen' yang diberikan perusahaan kepada masyarakat, agar masyarakat tidak marah karena sumber daya milik mereka di eksploitasi oleh korporasi.
Kalau yang diterapkan adalah sistem Islam, seperti kekhalifahan Islam, sangat wajar dan biasa muncul pribadi filantropi seperti sosok Abdurahman bin Auf. Sahabat konglomerat ini pernah menyumbang Empat puluh ribu dirham, empat puluh ribu dinar, dan lima ratus kuda diberikan untuk biaya jihad Negara. Selain itu, seribu lima ratus unta diberikan kepada kelompok mujahidin lainnya. Empat ratus Dinar emas diberikan untuk korban perang Badar. Semua itu disedekahkannya untuk kemaslahatan dan kemuliaan umat Islam.
Sahabat Umar Ra menyumbangkan separuh hartanya, sementara Abu Bakar Ra menyumbangkan seluruh hartanya. Semua itu dilakukan karena adanya ruh, kesadaran sebagai hamba Allah SWT, hidup untuk beribadah kepada Allah SWT.
Adapun dalam sistem sekuler, semua berorientasi pada materi, bahkan standar kebahagiaan dan kemuliaan adalah materi. Bagaimana mungkin ada orang rela berkorban harta, padahal hidupnya sangat mencintai harta?
Kepada Pak Dahlan Iskan, tetap semangat Pak, Jurnalis tidak pernah salah. Mengabarkan kedermawanan, bukan suatu aib walaupun akhirnya jika kedermawanan itu hanyalah mitos. Yang jelas, kedepan saran saya hati-hati, jangan sampai di cipoa hanya karena keliru melambungkan opini.(*)