Siapa yang paling banyak gambarnya di jalan-jalan, dia paling banyak duitnya. Paling banyak juga juga mempunyai pendukung: pengurus partai hingga pejabat daerah yang menjadi anak buahnya.
Kepak Sayap Sayap Kebhinekaan, entah apa ini maksudnya?
Kenapa bukan kepak sayap Garuda, seperti salah satu judul lagu Xreal , atau kepak sayap merpati, yang disebut tak pernah ingkar janji?
Burung Garuda adalah lambang Negara. Sedang Bhineka Tunggal Ika adalah sikap berbangsa yang harus sentiasa digenggam erat semua orang Indonesia.
Adapun kalau Merpati, ia adalah burung yang begitu jinak, namun tak mudah ditangkap.
Entah Mbak Puan ini kepak sayap kebhinekaan yang yang dia maksud itu garuda atau merpati. Atau bukan keduanya. Hanya Mbak Puan dan timnya yang tahu.
Airlangga Hartarto mungkin lebih jelas pesannya, seperti: Indonesia Kuat, Ekonomi Bangkit. Ada lagi yang bertuliskan: Kerja Untuk Indonesia.
Kalau Pak Airlangga serius, bagus juga ini. Kerja untuk Indonesia, mengupayakan Indonesia kuat, sehingga kelak ekonomi yang terus lesu ini bisa bangkit kembali.
Gus Muhaimin Iskandar dengan senyum khasnya pun sudah mulai menghiasi berbagai sudut jalan.
Keponakan Gus Dur yang berseteru dengan pamannya hingga meninggal dunia itu, menulis: Padamu Negeri Kami Berbakti. Ini bagus juga. Seharusnya segenap bakti para politikus yang terserak di berbagai partai, itu memang untuk Negeri.
Tak boleh bagi seorang politikus, bekerja untuk kepentingan cukong, apalagi asing. Walau orang-orang tersebut yang menjadi donatur politik selama masa kampanye.
Mas Bambang Harimurti Yudhoyono, sebagai mantan tentara, tampak paling gagah. Tak jelas juga pesannya pada baliho yang bergambar dirinya. Hanya tertulis: Siap!
Mbak Puan anak mantan Presiden.
Gus Imin keponakan mantan Presiden.
Mas Agus anak mantan Presiden.
Pak Airlangga saat ini memimpin partai yang dewan pembinanya pernah menjadi Presiden selama 32 tahun.
Tapi ironisnya, saat gambar orang-orang yang saya sebutkan di atas bertebaran dan berserak di berbagai tempat, pada saat yang sama gambar orang sakit atau orang mati akibat Covid terus berseliweran.
Entah empati yang tercerabut atau simpati yang telah tiada. Tapi yang pasti keberadaan orang-orang yang sedang berlomba menjadi Presiden, itu sungguh nyata.
(Abrar Rifai)