[Catatan Agustinus Edy Kristianto]
Bau kontes capres 2024 sengit betul belakangan ini.
"Banyak pengalaman, Moeldoko dinilai layak gantikan Jokowi jadi presiden," kata advokat dan pengamat politik Saiful Huda Ems, dikutip Suara.com. Saiful adalah Ketua Departemen Infokom DPP Partai Demokrat KLB (kubu Moeldoko).
Sahabat Erick Thohir (ET) akan deklarasikan dukungan ET sebagai capres 2024 di Surabaya. ET, kita tahu, banyak kali tebar pesonanya selama menjabat. Posisi sebagai menteri BUMN strategis dipakainya sebagai dongkrak.
51 Kota serentak deklarasikan Ganjar Pranowo sebagai capres 2024. Sahabat Ganjar di Manggarai, NTT, akan menjadi tuan rumah deklarasi.
Lembaga survei Fixpoll (M. Anas RA) merilis tiga nama teratas elektabilitas sebagai capres 2024: Prabowo Subianto (20,7%), Ganjar Pranowo (15,2%), dan Anies Baswedan (12,8%).
Sikut-sikutan juga sudah mulai.
Peluang ET jadi capres kecil, kata Asep Warlan Yusuf, ahli hukum Unpar yang kini merangkap pengamat politik.
Prabowo jadi King Maker saja tak usah nyapres, kata pengamat politik Fernando EMaS, pendukung Jokowi yang juga Direktur Rumah Politik Indonesia.
Jika pun nama Tommy Soeharto mencuat dalam kontes, sudah dipapas lebih dulu. Satgas BLBI menagih utangnya Rp2,61 triliun.
Begitu juga Anies. Mencuat sedikit, dihajar pakai kasus DP0% dan isu 'Taliban'.
Jika Menko Marives Luhut Panjaitan ingin ikut kontes juga, sudah ada isu: "Luhut layak direshuffle karena tidak memuaskan menangani PPKM," kata pengamat politik Jamiluddin Ritonga.
Dari lapangan cawapres, Sandiaga Uno paling nongol. Burung bangau yang ada di setiap cuaca kekuasaan tapi berjubah investor value investing ini hampir menguasai posisi atas setiap survei cawapres. Terakhir, dia diberitakan promosi investasi jangka panjang di Bukalapak. Ini khas dia: ingin dapat nama (citra), dapat kekuasaan, dapat materi juga. Ia ingin dapat semuanya. Tapi ada baiknya Anda cari tahu dulu bagaimana kelakuan dan arus kas dia yang sebenarnya.
Itu yang muncul di berita belakangan ini. Belum lagi orang-orang yang mukanya ada di spanduk-spanduk: Airlangga Hartarto, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar (spesialis calon presiden di segala spanduk pemilu), dsb.
Lalu yang malu-malu kucing. Bisa jadi Menkeu Sri Mulyani nanti ikut kontes atau yang lain-lain...
Saya pribadi, sih, muak, ya, dengan orang-orang yang kerap disebut tokoh. Sekaligus 'kagum' dengan tingkat percaya diri mereka yang wajahnya mejeng di mana-mana. Apa hal istimewa yang sudah mereka lakukan untuk negara ini, saya tidak tahu.
Tapi kenyataan tidak bisa dihindari. Mereka-mereka ini yang potensial nantinya mengatur hidup saya dan kita semua---pun anak-anak kita. Mereka jadi pemerintah. Mau tidak mau, kita mesti ambil peduli.
Pengalaman 2 periode 'orang baik' menunjukkan politik adalah fantasi yang dibuat-buat untuk memberikan kepada segelintir orang kekuasaan, uang, dan jabatan, yang sebenarnya tidak banyak faedahnya juga bagi peningkatan kesejahteraan umum.
Sebab, politik dan bisnis bersimbiosis mutualisme. Ketika politisi berkonsolidasi, taipan pun demikian. Politik tanpa logistik adalah omong-kosong. Logistik para tokoh itu dari kelompok taipan mana akan menentukan tendesi kebijakan dan proteksi yang diambil ketika sudah berkuasa.
Untuk sementara cukup kita ingat-ingat saja berita capres-capresan ini. Mungkin dalam waktu dekat akan terjadi peningkatan tensi.
Beberapa kenalan mengontak saya, mengajak untuk membuat gagasan alternatif. Saya pikir, dulu juga jargonnya Jokowi adalah alternatif tapi hasilnya malah kesasar seperti perjalanan ke luar kota melalui jalur alternatif.
Masalahnya adalah ketika orang sedang jualan kecap, mereka merasa masing-masing adalah jawaban alternatif!
Ada juga yang menuding saya berada di balik suara asing yang berkepentingan dalam Pemilu. Saya kasih tahu, asing tidak ada gunanya buat saya. Saya anak kampung. Saya tidak ada utang budi dan keharusan untuk menyuarakan mereka. Justru, asing adalah bagian yang harus kita pantau pergerakannya dalam perpolitikan Indonesia.
Saya belum tahu betul apa bentuknya, tapi rasanya Indonesia membutuhkan satu gerakan baru yang segar: bukan elemen parpol, terdiri dari orang-orang biasa yang merdeka (secara finansial maupun pekerjaan), memiliki bobot dan kapasitas pada bidangnya untuk memberikan pandangan secara objektif, tidak mengejar jabatan kekuasaan (termasuk komisaris BUMN), tidak mencari uang dari proyek-proyek pemerintahan, bukan makelar proyek negara, bukan merupakan fans dari sosok-sosok tertentu, bukan hidup dari program donor asing, bukan gerombolan bekas pejabat/staf khusus yang sakit hati karena kuenya habis...
Yang benar-benar merdeka untuk menandingi mereka yang mapan dan selalu membutuhkan hidup menjadi benalu negara.
Masalahnya, apa masih ada?
Salam Alternatif.
(Agustinus Edy Kristianto)