Banteng Adu Tanduk, PDIP Pecah
SELEMBAR surat yang ditandatangani Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal, Hasto Kristiyanto beredar dan menarik dicermati. Surat tertanggal 11 Agustus 2021, bernomor 3134/IN/DPP/VIII/2021, perihal: Penegasan Komunikasi Politik.
Surat ditujukan kepada DPP PDI Perjuangan, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, DPD dan DPC, anggota F-PDIP DPRD provinsi, kabupaten/kota, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kader PDIP seluruh Indonesia. Intinya, penegasan kepada tiga pilar partai di tingkat masing-masing, sebagaimana pasal 15 huruf f Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Tahun 2019, “Dalam melaksanakan kepemimpinannya, Ketua Umum bertugas, bertanggung jawab dan berwenang serta mempunyai Hak Prerogatif untuk memutuskan Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden…”
Semua kader diminta disiplin agar tidak memberikan tanggapan terkait calon presiden dan calon wakil presiden. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan dikenai sanksi disiplin partai.
Dalam surat tersebut dijelaskan, “Skala prioritas partai adalah membantu rakyat dalam menangani seluruh dampak akibat pandemi Covid-19. Peningkatan jumlah pasien Covid-19 sangat serius dan sudah menjadi tugas kita bersama agar seluruh anggota dan kader partai untuk bahu-membahu, bergotong-royong membantu rakyat.”
Ada dua hal yang menarik dicermati dari isi surat tersebut.
Pertama, jelas-jelas semakin memperlihatkan terjadinya perpecahan di tubuh partai berlambang banteng hitam bermoncong putih itu. Surat tersebut muncul pada saat terjadinya kubu yang mencoba memuluskan Ganjar Pranowo menjadi calon presiden (capres) pada Pilpres 2024. Di sisi lain, ada juga kubu yang ‘ngotot’ mengajukan Puan Maharani menjadi capres 2024.
Harap maklum, berdasarkan survei yang dilakukan beberapa lembaga, elektabilitas Ganjar Pranowo moncer. Sedangkan elektabilitas Puan Maharani masih memble. Berdasarkan hasil survei, perbedaan elektabilitas Gubernur Jawa Tengah dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu ibarat bumi dan langit.
Terakhir, survei yang dirilis Charta Politika menempatkan nama Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di urutan terbawah elektabilitas 10 tokoh calon presiden atau Capres 2024.
“Puan 1,4 persen, Airlangga 1 persen,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam paparannya mengenai peta elektoral survei, Kamis, 12 Agustus 2021. Entah sengaja atau kebetulan, hasil survei tersebut keluar sehari setelah surat mengenai “Penegasan Komunikasi Politik” beredar.
Yunarto menerangkan, nama Puan dan Airlangga yang berada di urutan terbawah menandakan, banyaknya atribut berupa baliho maupun billboard tidak berkorelasi linier terhadap tingkat elektabilitas. Pemasangan berbagai atribut di berbagai daerah tersebut hanya bisa mendongkrak populatiras seseorang, bukan elektabilitas.
Ada 10 nama yang disurvei. Menurut Yunarto, nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mendapat elektabilitas tertinggi 20,6 persen. Diikuti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan 17,8 persen, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto 17,5 persen. Lalu Menteri Pariwisata, Sandiaga Uno 7,7 persen, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil 7,2 persen.
Kemudian Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono di urutan keenam dengan elektabilitas 4,2 persen, Menteri, Sosial Tri Rismaharini 3,6 persen, dan Menteri BUMN, Erick Thohir 1,8 persen.
Puan Maharani kok berada pada urutan kedua dari bawah? Mestinya, sebagai wanita yang merupakan trah Sukarno, paling tidak urutan nomor 2, 3 atau 4. Atau setidaknya masuk dalam enam besar.
Akan tetapi, putri Megawati itu kok berada pada urutan ke-9. Apa yang salah? Apakah yang salah yang melakukan survei atau Puan yang terlihat bagaikan “Putri Malu” menuju Pilpres 2024? Atau karena berkolerasi dengan sebutan “Madam” dalam kasus korupsi bantuan sosial yang menjerat Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial dan kawan-kawan. Entahlah. Pastinya, ya Puan berada pada urutan kedua dari bawah dari 10 orang yang disurvei.
Kelihatannya, hasil-hasil survei yang muncul belakangan – dan menempatkan Puan berada pada urutan buncit – membuat sang Ibu murka. Ia murka kepada Ganjar, yang kabarnya didukung oleh Presiden Joko Widodo maju sebagai Capres 2024.
Mengapa Jokowi mendukung Ganjar? Kabarnya, karena mantan Gubernur DKI Jakarta itu ingin memasangkan Ganjar Pranowo dengan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang sekarang menjadi Wali Kota Solo.
Kabar kubu Puan yang tidak suka dengan Ganjar semakin nyaring. Apalagi, secara terang-terangan Ganjar sudah didukung berbagai pihak. Termasuk, Ahad, 22 Agustus 2021 kemarin, Sahabat Ganjar mendeklarasikan Ganjar Pranowo maju pada Pilpres 2024. Tidak tanggung-tanggung, deklarasi dilakukan di 51 kota pada 34 provinsi se-Indonesia.
Perang antara kubu Ganjar dan Puan semakin panas. Menandingi apa yang dilakukan Ganjar yang juga kader PDIP itu, kubu Puan pun menyebarkan baliho dan billboard di seantero nusantara. Ya, meski pemasangannya sudah lama dilakukan dan belakangan semakin marak, tetapi elektabilitas dan popularitas Puan seakan masih saja jalan di dempat. Jalannya seperti keong dan siput.
Kedua, surat yang ditandatangani Megawati dan Hasto itu menunjukkan PDIP sudah semakin berseberangan dengan pemerintahan Jokowi. Buktinya, di dalam surat itu, sama sekali tidak menyebutkan kader membantu pemerintah dalam menangani Covid-19. Padahal, ditegaskan prioritas partai adalah membantu rakyat dalam menangani seluruh dampak akibat pandemi Covid-19.
Mengapa isi surat tersebut sama sekali menyebutkan membantu pemerintah atau bersama pemerintah bahu-membahu menganani Covid-19. Hal tersebut bisa terjadi, karena kemungkinan selain faktor terciumnya dukungan Jokowi terhadap Ganjar dalam Pilpres 2024, juga karena pejabat dari PDIP tidak dilibatkan dalam komando penanganan pandemi corona.
Sulit dilukiskan bagaimana hati Megawati tidak hancur melihat Jokowi malah mengangkat Luhut Binsar Panjaian dan Airlangga Hartarto menjadi ‘panglima’ tempur Covid-19. Luhut adalah politisi senior Partai Golkar/Ketua Dewan Penasihat Golkar. Sedangkan Airlangga adalah Ketua Umum parta berlambang beringin itu.
Kenapa mandat itu tidak diberikan kepada kader PDIP yang duduk di pemerintahan? Kalau Menteri Sosial, Tri Rismaharini membagi-bagi bantuan sosial, itu bukan penugasan khusus. Akan tetapi, sudah menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Hal yang sama juga diemban oleh mantan Mensos, Juliari Peter Batubara yang dipenjara karena korupsi dana bansos.
Mengapa Jokowi menunjuk Luhut dan Airlangga. Lagi-lagi itu juga merupakan langkah politis strategis. Sebagai partai pemenang Pemilu urutan ketiga (perolehan suara Golkar pada Pemilu 2019 sebesar 17.229.789 atau 12,31 persen), wajar Jokowi merangkulnya. Kalkulasi politiknya, jika PDIP tidak mau mendukung Ganjar dan Gibran, maka Jokowi akan meminta ‘bantuan’ kepada Golkar.
Ke depan, pertarungan politik antara kubu Ganjar dan Puan akan semakin seru. Banteng sedang adu tanduk. Mereka saling mencari dukungan. Akan tetapi, yang jelas, banyak rakyat termasuk kader PDIP juga tidak menginginkan trah Sukarno menjadi presiden. Banyak yang nyinyir, ”Memang Indonesia itu milik keluarga Soekarno?” Buktinya, banyak baliho puan yang dirusak orang tidak dikenal.
[Sumber: Editorial FNN]