Pakaian Adat & Pembangunan Berkelanjutan
Saya setuju, pake banget, soal penggunaan baju daerah di acara resmi kenegaraan. Seperti terlihat di foto. Tak lain untuk menunjukkan kekayaan budaya kita. Kurangnya satu aja, hadirin harusnya mengenakan baju khas dari tiap daerah. Biar kepak sayap kebhinekaan dari PYMIP semangkin nyata.
Kalo sekarang ini masih terkesan gimik. Kemasan belaka. Hadirin tetap berjas, berbusana resmi nasional, sang pimpinan negara terkesan memosisikan diri seperti tontonan. Kesan ya… cuma kesan… 😶
Baduy memang istimewa, terutama Baduy Dalam yang telah “melockdown” diri lebih dari 500 tahun. Tak beragama seperti umumnya penduduk lainnya, tak juga beraktivitas ekonomi seperti lainnya. Mereka masih manjing ajur ajer dengan alam.
Tak perlu heran kalo di musim pandemi kali ini, terdata nol kasus!
Dalam soal busana, mereka memenuhinya memintal benang dan menenunnya sendiri. Tanpa mesin, tanpa pewarna. Kalo mau bicara sustainability, keberlanjutan, mereka dapat menjadi kiblat kita. Guru kita!
Sementara Baduy Luar, umumnya sudah tersentuh peradaban luar. Baju sudah berwarna, kain sudah banyak dijahit dengan mesin, dan sudah menggunakan benik, kancing baju. Seperti yang digunakan presiden di kesempatan pidato jelang peringatan kemerdekaan.
***
Bagi yang ingin beli baju seperti itu, di toko online bisa memasukkan kata kunci “baju kampret”.
Jangan tertawa!
Penyebutan lain baju komboran, komprang dan lainnya memang itu. Kata kampret memudahkan pencarian dan tidak akan mengakibatkan salah beli. Jangan trus mengira semua akan kampret pada waktunya…
Ga usah juga mengatakan pemerintah sering tak peduli dengan masyarakat adat yang kerap dirugikan saat berkonflik dengan korporasi. Ga ada lagi kan yang seperti itu? Ada nggak? *benerin sarung*
Mat Dogol
Sedang sarungan
(Haryo Setyo Wibowo)