[Catatan Agustinus Edy Kristianto]
Beberapa hari absen mengudara karena ada sedikit urusan pribadi. Bukan karena disadap BIN atau diperiksa polisi. Terlalu jauh. Kurang kerjaan sekali kalau sampai terjadi. (Iya, gak BIN?)
Dinding saya ini woles. Macam serambi untuk siapa saja menumpahkan suara. Tidak akan ada yang saya blok. Siapa pun dia. Kecuali ada kalimat kebencian SARA (ini yang paling saya jaga).
Hari Teknologi Nasional ke-26 (Selasa, 10 Agustus 2021), Presiden Jokowi bicara, seperti dikutip industri.co.id, "... peningkatan kedaulatan teknologi dan menjadikan kita sebagai produsen teknologi."
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diminta "... mencari cara-cara cerdas untuk melakukan akuisisi teknologi secara murah dan menjadikan kita sebagai produsen teknologi yang mandiri."
Jadi, presiden sebuah negara berpenduduk 270-an juta yang tidak mau mempublikasikan jumlah kematian Covid-19 ini bicara kedaulatan teknologi.
Rasanya lucu. Segeli melihat patung yang belum selesai dipahat.
Si 'Man of Contradiction' ini aneh juga. Dia pikir rakyat bangga dengan retorika ala Winter is Coming itu.
Jujur saja pada kenyataan. Ajak bicara orang yang paling asing, yaitu diri presiden sendiri.
Kenyataan tidak begitu.
Kita hampir mustahil menjadi raksasa teknologi karena pejabat dalam pemerintahan yang ia bentuk seolah memiliki DNA makelar.
Ini negara komisi.
Bukalapak yang ia banggakan dan diucapi selamat oleh 10 menteri adalah contoh. BUKA bukan kemajuan teknologi tapi kendaraan mengakumulasi modal. Ia seolah-olah kemajuan teknologi.
Sama halnya dengan 'kemajuan' teknologi data center Anthony Salim (DCII). Bukan kemajuan teknologi yang sebenarnya. Tapi kemajuan menuju rencana gadai saham.
Tidak ada kedaulatan teknologi nasional di situ. Masyarakat adalah konsumen. Venture capitalist adalah korlap. Perusahaan adalah etalase. Perantara perdagangan efek adalah penunggu setia spread dan fee. Kemenangan sesungguhnya ada di prinsipal, orang yang tidak banyak terekspose media.
Setelah IPO, 46% saham BUKA dikuasai tiga besar: Emtek Group (ada Anthoni Salim di dalamnya juga), Ant Group's API Investment, dan GCI (sovereign wealth fund Singapura). Microsoft dan Mirae Aset pegang 2,7%.
Lihat histori transaksi. Sejak dibuka perdagangan, asing selalu jualan ratusan miliar. Long dan short dikuasai bandar. Satu hari ARA, hari selanjutnya ARB. Satu hari kekayaan Zaki (BUKA) naik sekian triliun, hari berikutnya turun sekian triliun.
Produsen teknologi banget.
Kemendikbud bikin proyek bagi-bagi laptop. Tanam program Google's Chromebooks. Dipikirnya ini kemajuan teknologi. Tapi faktanya adalah dagang.
Nikkei Asia (11/8/2021) menulis penjualan notebook program Chrome itu naik 2 kali lipat pada 2020. 32,5 juta unit tahun 2020, 16,7 juta unit 2019. Tahun ini menarget 55 juta unit.
Jadi apa itu cara cerdas mengakuisisi teknologi model Jokowi?
'Cara cerdas' adalah selagi adik menjadi Menteri BUMN, kakak yang kebetulan Komisaris GoTo masuk. Hasilnya akuisisi cerdas: Telkomsel makan obligasi GoTo Rp6,5 triliun.
Cara cerdas sehingga GoTo bisa segar dan 'fokus' mengurusi bisnis bank rencana atas rencana demi rencana menjadi berpotensi bank digital. Bank Jago (ARTO).
Kedaulatan teknologi adalah omong kosong. Yang ada ialah petualang-petualang yang berjubah teknologi.
Anthoni Salim menarikan data center, BUKA dan GoTo menyanyi e-dagang/superapps, 'komisioner' menanti fee jualan Chrome dan laptop, sementara BUMN Telkom fokus pada bisnis mengejar tagihan Indihome pelanggan, menanti gain/dividen dari GoTo (jika ada), mengutak-atik laporan keuangan Tiphone (TELE), dan rencana perjalanan ke luar angkasa bersama Elon Musk.
Rakyat? Bansos, vaksin, dan sembako.
Itu pun kalau paket bansosnya tidak ditilep Rp10 ribu/paket, sembakonya tidak diisi batu dan suntikan vaksinnya kosong.
Coba Presiden Jokowi edit dulu brosur-brosur Esemka supaya tidak banyak typo, daripada bicara teknologi.
Salam Tekno.
(Agustinus Edy Kristianto)