Melansir Kompas, seorang ibu-ibu di Sumenep, Sri Agustin memarahi Wakil Bupati Dewi Khalifah. Ibu-ibu tersebut kesal, sebab untuk mendapatkan Bantuan Sosial Tunai (BST), syaratnya harus divaksin.
Sebagai wakil bupati, Dewi Khalifah bukannya berusaha menjelaskan dengan baik kepada ibu-ibu tersebut, kenapa kebijakan wajib vaksin kepada penerima BST tersebut harus dilakukan.
Dewi Khalifah malah menghindar, dan menuju ibu-ibu yang lain. Tapi tetap saja, ia mendapatkan protes serupa. Ibu-ibu itupun menyampaikan protesnya kepada wakil bupati terkait kebijakan konyol tersebut.
BST itu adalah hak mereka yang memang layak menerima, rakyat Sumenep yang masih belum sejahtera. Terlebih di era corona yang tak jua kunjung usai ini.
Sedang pelaksanaan vaksi itu satu hal yang lain, yang ditujukan (konon) untuk memberikan kekebalan bagi masyarakat dari penularan Corona.
Tapi dengan menjadikan vaksin sebagai syarat untuk mendapatkan BST, inilah yang konyol!
Sama konyolnya ketika menajadikan sertifikat vaksin sebagai syarat satu perjalanan, naik pesawat dan lain sebagainya.
Sebab dengan vaksin dijadikan syarat bagi rakyat untuk mendapatkan haknya, seperti BST bagi mereka yang tidak mampu, atau naik pesawat bagi mereka yang akan bepergian jauh, akhirnya vaksin akan dilaksanakan ngawur dan asal-asalan!
Padahal sebenarnya skrining orang yang akan divaksin itu ketat. Tidak boleh asal vaksin, sekedar untuk memenuhi target.
Cobalah Pemerintah, Satgas Covid-19 atau apalah namanya, orang-orang yang terlibat pada war-war vaksinasi ini berpikir waras. Bukankah tujuan vaksin tersebut untuk menciptakan herd immunity?
Tapi dengan adanya pemaksaan, terlebih mengunakan cara-cara tak beradab: bantuan tidak disalurkan jika tak mau divaksin, ini justru akan membuat kacau.
Atau karena untuk satu keperluan penting, orang harus naik pesawat, dan untuk bisa terbang harus divaksin, ini juga kacau!
Karena berbagai keterpaksaan seperti di atas, yang akan terjadi adalah ketidakjujuran warga terkait kondisi dirinya sebelum divaksin.
Padahal orang sebelum divaksin corona ini, setidaknya harus terbebas dari 16 kondisi dirinya yang jika itu terlewat, justru membahayakan dirinya.
Mengutip detikHealth, berikut 16 skrining yang harus dilakukan petugas vaksin sebelum memvaksin orang:
1. Apakah Anda pernah terkonfirmasi menderita COVID-19?
2. Apakah Anda sedang hamil atau menyusui?
3. Apakah Anda mengalami gejala ISPA seperti batuk, pilek, atau sesak napas dalam 7 hari terakhir?
4. Apakah ada keluarga serumah yang kontak erat, suspek, konfirmasi, atau sedang dirawat karena COVID-19?
5. Apakah Anda memiliki riwayat alergi berat atau mengalami gejala sesak napas, bengkak dan kemerahan setelah divaksinasi COVID-19 sebelumnya? (pertanyaan untuk vaksinasi ke-2)
6. Apakah Anda sedang mendapatkan terapi aktif jangka panjang terhadap penyakit kelainan darah?
7. Apakah Anda menderita penyakit jantung (gagal jantung atau penyakit jantung koroner)?
8. Apakah Anda menderita penyakit autoimun sistemik (SLE atau lupus, sjogren, vaskulitis, dan autoimun lainnya)?
9. Apakah Anda menderita penyakit ginjal (penyakit ginjal kronis/sedang menjalani hemodialysis/dialysis peritoneal/transplantasi ginjal/sindrom nefrotik dengan kortikosteroid)?
10. Apakah Anda menderita penyakit rematik autoimun atau rheumatoid arthritis?
11. Apakah Anda menderita penyakit saluran pencernaan kronis?
12. Apakah Anda menderita penyakit hipertiroid atau hipotiroid karena autoimun?
13. Apakah Anda menderita penyakit kanker, kelainan darah, imunokompromais atau defisiensi imun, dan penerima produk darah atau transfusi?
14. Apakah Anda menderita penyakit diabetes melitus?
15. Apakah Anda menderita HIV?
16. Apakah Anda memiliki penyakit paru (asma, PPOK, TBC)?
Begitu Pak, Bu. Jadi bukan asal vaksan vaksin aja!
Sebab kalau sampai skrining ini terabai, justru akan membahayakan orang yang divaksin. Bukannya terbebas dari corona, tapi malah menyebabkan penyakit bawaan itu makin parah, disebabkan efek samping yang dialami setelah melakukan vaksin.
Adanya kasus-kasus orang yang justru meninggal setelah divaksin, kemungkinan besar itu karena pengabaian terhadap skrining di atas. Atau petugas yang melakukan skrining kurang jeli, sehingga skrining menjadi tidak akurat.
Maka, dengan melakukan pemaksaan vaksin menggunakan senjata BST, pembolehan naik pesawat dan lain sebagainya, itu semua adalah bentuk pengabaian terhadap skrining orang yang akan divaksin.
Sebab dengan adanya pemaksaan tersebut, akan berpotensi orang untuk tidak jujur menyampaikan latar belakang kondisi dirinya.
Maka tak salah, kalau ibu-ibu yang sudah datang ke Kantor Pos di Sumenep itu, untuk mengambil BST, akhirnya memilih pulang daripada mendapatkan BST tapi harus divaksin dulu!
Dewi Khalifah pun diam saja, tak mau memberikan keterangan kepada wartawan. Padahal hak warga untuk mendapatkan BST jadi tidak tertunai, tersebab pemaksaan vaksin tersebut.
(Abrar Rifai)