Vaksin gotong royong (VGR) individu via Kimia Farma ditunda pelaksanaannya. Menkes Budi Gunadi Sadikin dan Menteri BUMN Erick Thohir yang pasang badan menjelaskan alasan.
Kata Menkes, alasan VGR individu diadakan adalah agar perusahaan di bawah KADIN yang sebelumnya tidak bisa mengakses menjadi mudah mengakses. Menteri BUMN gelagatnya akan mendorong perubahan aturan supaya individu yang mengakses VGR harus ada dalam naungan perusahaan/lembaga.
Asal tahu saja, program VGR dari perusahaan melalui KADIN sudah dimulai sejak Mei 2021. Sebanyak 1,5 juta dosin vaksin Sinopharm disiapkan. Sekarang sisa 400 ribu. Lihat sendiri lucunya alasan Menkes itu. Mengapa tidak jalan program VGR perusahaan, masalahnya ada di KADIN. Kenapa solusinya jual ke individu umum?
Kita lupakan sejenak sirkus itu. Masyarakat sebaiknya tahu hal yang lebih strategis: power!
Bobot serangan saya tidak pernah melulu soal gratis atau tidak gratis. Jika masalahnya bayar atau tidak bayar, level diskusi akan merosot sebatas ini: "Bukannya terima kasih sudah dikasih vaksin gratis oleh pemerintah. Yang bayar kan untuk yang mampu. Ada jalan biasa, ada jalan tol. Vaksin berbayar kan sudah ada sejak dulu untuk pencegahan penyakit. Kenapa gak ribut."
Tidak usah ditanggapi yang semacam itu. Kita bukan penderita waham/delusi kebesaran (grandiose), yang mungkin merasa dekat sekali dengan Lord Jokowi sehingga apapun harus dibela sampai keluar urat. Kita orang biasa yang ingin menjalankan tugas sebagai manusia yang utuh. Pakai hati/empati, nalar, data. Selebihnya iman.
Dalam status awal soal VGR, saya masalahkan kenapa Menkes ubah definisi VGR dalam Permenkes 19/2021 hanya 7 hari sebelum Kimia Farma mulai jualan Sinopharm.
Perlu tahu juga, sebenarnya Lord Jokowi mengeluarkan Perpres 50/2021 pada 25 Mei 2021 tentang Vaksin yang mengubah Perpres 14/2021. Materi yang diubah Lord itu soal pengambilalihan tanggung jawab hukum. Intinya jika terjadi apa-apa terkait penggunaan vaksin, si produsen/penyedia vaksin tidak bisa dituntut. Pemerintah ambil tanggung jawab hukum sepenuhnya.
Ada apa?
Jika delusif, kita akan segera menganggap itu adalah bukti Lord pasang badan buat rakyat. Tapi jika waras, kita bisa menduga bahwa memang begitulah konsekuensi praktik bisnis raksasa farmasi global.
Di Amerika Serikat juga begitu. Ada Public Readiness and Emergency Preparedness Act (PREP Act) yang membuat raksasa macam Pfizer dan Moderna memiliki imunitas untuk tidak bisa dituntut jika terjadi sesuatu di kemudian hari, kecuali ada "willful misconduct" (dengan syarat ketat).
AS punya sejarah sendiri ketika pada 2009, Pfizer dihukum membayar US$2,3 miliar akibat praktik "fraudulent marketing" produk Bextra. Promosinya terbukti menyesatkan. Ini denda terbesar dalam sejarah dunia farmasi.
Anda juga bisa riset sendiri bagaimana kuatnya tekanan Pfizer dkk di Eropa dan negara kawasan lain ketika ingin memasukkan produk berikut persyaratan formal yang mereka ajukan. Saya kutip dari DW, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Argentina Gines Gonzalez Garcia menyebut Pfizer sebagai "behaved very badly".
Level kesadaran masyarakat di muka kekuasaan harus naik kelas. Tak cukup bicara dari sisi kepentingan diri sendiri (tidak mau ribet yang penting dapat gratis) tapi lihat kepentingan yang lebih luas.
Anda tidak bisa abaikan itu jika tidak ingin nanti tiba-tiba krisis multidimensi menghajar kita semua akibat salah kelola sumber daya negara oleh elite yang korup. Jika Anda tahu bagaimana detik-detik Rp144 triliun BLBI dicairkan kepada segelintir obligor, sekarang Anda tidak akan heran kenapa si A jadi konglomerat dan yang lain melarat bin cuma budak korporat.
Pandemi mengajarkan manusia untuk disiplin dan solider. Juga mengajarkan tentang melawan korupsi. Itulah mengapa United Nations Office on Drug and Crime (UNODC) mengeluarkan paper "Covid-19 Vaccines and Corruption Risks: Preventing Corruption in the Manufacture, Allocation, and Distribution of Vaccines"
Kritik terhadap pengadaan vaksin itu bukan urusan berterima kasih atau tidak berterima kasih sama pemerintahan Jokowi karena vaksin gratis. Jika masih berpikiran begitu, jangan heran jika nanti kita disodorkan calon pemimpin berkualitas batu bara kalori rendah lagi dalam Pemilu 2024.
Vaksin adalah global public good. UNODC menggariskan bahwa "addressing corruption is a priority in times of crisis". Sebab, pandemi telah membuka kesempatan baru bagi korupsi. Secara khusus disebutkan tentang "corrupt vaccine policy decisions".
Swasta akan cari pintu masuk bagaimana mempengaruhi kebijakan vaksin suatu pemerintahan. Pejabat pemerintah rentan disuap oleh swasta untuk menentukan jenis vaksin apa, berapa banyak. dari produsen mana, didistribusikan ke mana saja. Orang dalam perusahaan akan disusupkan dalam proses pengambilan kebijakan vaksin. Ilmuwan/akademisi/ahli tertentu akan mendukung kecenderungan produk vaksin tertentu melalui riset buatan berbayar, tanpa diungkap adanya konflik kepentingan profesional mereka.
Begitu kata UNODC. Makanya perlu dibentuk komite independen kebijakan vaksin, program perlindungan jurnalis-whistle blower, penguatan masyarakat sipil, dorongan kampanye pemenuhan hak atas kesehatan masyarakat, dan--ini kunci--keterlibatan individu/kelompok yang beragam dalam proses pengambilan kebijakan vaksin.
👉Masak kita tidak bisa lihat/sadari sesuatu yang sebetulnya nyata sekali di depan mata. Menkes (berwenang menentukan jenis, kuota, dan badan usaha penyedia vaksin) adalah bekas wakil Menteri BUMN (yang juga bekas Ketua Tim Kampanye Jokowi). Menteri Perdagangan (yang berwenang menentukan kuota impor) adalah sahabat selapangan basket Menteri BUMN. Bekas Ketua Umum KADIN cum Wakil Ketua Tim Kampanye Jokowi (Rosan Perkasa) dicalonkan Jokowi jadi duta besar Amerika Serikat, tempat di mana raksasa farmasi berada. Bisa diterka betapa besar peran mereka dalam dukungan logistik kampanye sampai Lord terpilih.
Di mana ada pengaruh power yang besar, di situ ada potensi korupsi yang besar juga. Apalagi jika seluruh power itu berasal dari arus yang homogen. Itu menjelaskan kenapa aturan vaksin bisa diubah-ubah sedemikian mudah. Oleh orang yang itu-itu saja.
Kurang dari sebulan lagi Pfizer akan masuk Indonesia. Mereka telah keluar US$1 miliar (Rp14 triliun) untuk produksi vaksin dalam 8 bulan.
Mereka sudah mempelajari kejadian polemik Sinopharm sekarang. Akan ada sedikit modifikasi lobi dan strategi. Mungkin perlu merangkul kekuatan konglomerasi farmasi/industri kesehatan lokal untuk menguatkan benteng. Jika perlu, komisi/kickback mungkin perlu ditingkatkan.
Kita lihat saja nanti.
Saya kutip pernyataan Presiden Federasi Medis Peru Godofredo Talavera Chavez:
"Pfizer memiliki pendekatan merkantilis. Mereka memakai power untuk menjual Viagra dan sekarang mereka melakukan hal yang persis sama dengan vaksin Covid-19."
Salam Cuan Vaksin
(Agustinus Edy Kristianto)