[PORTAL-ISLAM.ID] Beberapa negara menolak vaksin Sinovac asal China. Sebut saja negara yang menolak Singapur, Arab Saudi, Malaysia dan beberapa negara di dunia lainnya.
Namun Indonesia sendiri, menerima dengan lapang dapa Sinovac. Bahkan, Pemerintah Indonesia memesan sebanyak 3 juta dosis Vaksin Sinovac.
Vaksin tersebut seluruhnya telah tiba di Tanah Air pada Desember 2020.
Rencananya, Pemerintah Indonesia akan menambah 122,5 juta dosis vaksin jenis ini.
Vaksin Sinovac adalah vaksin gratis kepada masyarakat Indonesia.
Dari uji klinis yang dilakukan di Bandung, Jawa Barat, tim peneliti mendapatkan efikasi Vaksin Sinovac sebesar 65,3 persen.
Sosok Bos Sinovac
Lalu siapa yang punya perusahaan penyuplai vaksin terbesar untuk Indonesia ini?
Sinovac Biotech Ltd (NASDAQ: SVA) adalah sebuah perusahaan biofarmasi yang berfokus pada riset, pengembangan, pembuatan dan komersialisasi vaksin-vaksin yang mencegah penyakit menular manusia.
Perusahaan tersebut bermarkas di Beijing, Tiongkok. Chief Executive Organize (CEO) Sinovac Biotech Ltd, Weidong Yin mendirikan perusahaan ini tahun 1999 atau 22 tahun lalu. Weidong Yin adalah dokter medis di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular China, Kota Tangshan Provinsi Hebei.
Ia menyelesaikan pendidikannya di National University of Singapore dan Tangshan Medical School. Yin menguasai 12,71% saham Sinovac per 31 Maret 2020.
Perusahaan yang berbasis di Tiongkok, perusahaan ini tunduk pada hukum Antigua & Barbuda yang merupakan suatu wilayah di Kepulauan Karibia sebagai lokasi pembentukan perusahaan offshore yang memanfaatkan status tax haven wilayah tersebut.
Meski punya pasar besar untuk produksi vaksin, jalan Sinovac tak melulu mulus.
Pemegang sahamnya, 1Globe Capital menggugat mengajukan keluhan terhadap Perusahaan di Pengadilan Antigua.
Sidang perkara tersebut berlangsung dari tanggal 3 sampai 5 Desember 2018.
Pada 19 Desember 2018, hakim Antigua menjatuhkan putusannya sepenuhnya mendukung Sinovac. Pengadilan menolak klaim 1Globe Capital dan menyatakan rights plan diadopsi secara sah sesuai ketentuan hukum Antigua.
Baca Juga Aliran Modal Asing Kabur sebesar Rp3,31 T dari Indonesia
Pada tanggal 29 Januari 2019, 1Globe Capital mengajukan pemberitahuan banding terhadap keputusan Antigua.
Pada tanggal 4 Maret 2019, 1Globe Capital mengajukan permohonan bantuan sementara yang mendesak, meminta untuk mencegah Sinovac melaksanakan rights plan-nya hingga selesai banding.
Permohonan ini disidangkan pada tanggal 4 April 2019, Pengadilan Banding mengeluarkan perintah menahan Sinovac melaksanakan aksi korporasinya.
Apalabila, dapat mempengaruhi hak atau kepemilikan 1Globe Capital atau mendistribusikan saham barunya. Mengutip Washington Post, Sinovac ternyata memiliki sejarah penyuapan di China. Persoalan suap ini memang bukan di era vaksin Covid-19.
Skandal penyuapan terungkap pada 2016 silam, di mana Sinovac menyuap Badan Pengawas Obat dan Makanan China.
Suap tersebut ternyata terkait dengan izin pengembangan vaksin SARS pada 2003 dan flu babi pada 2009.
Sinovac juga mengakui kasus suap yang melibatkan pemimpinnya, Weidong Yin.
Perusahaan menyebutkan tak bisa menolak permintaan sejumlah uang dari pejabat saat itu sehingga mau tidak mau terjadilah penyuapan.
Yin yang juga merupakan pendiri dan kepala eksekutif perusahaan juga mengaku telah membayar suap lebih dari US$ 83.000 periode 2002-2011.
Sebagai imbalannya, pejabat regulasi akan mengupayakan sertifikasi Vaksin Sinovac untuk SARS, flu burung, dan flu babi.
Rekam jejak penyuapan ini pun banyak disoroti apalagi mengetahui kalau Sinovac belum mengumumkan keampuhan dari vaksin.
Berbeda dengan dua produsn lainnya seperti Moderna dan Pfize yang menyebutkan lebih dari 90% vaksin mereka efektif dalam analisis awal.
Menurut pakar medis, Sinovac memang tidak pernah terlibat dalam skandal keamanan soal vaksin.
Perusahaan ini juga tidak terbukti bahwa salah satu vaksin yang disetujui dalam kasus penyuapan adalah salah.
“Namun fakta bahwa perusahaan memiliki sejarah penyuapan menimbulkan keraguan panjang atas klaim data yang tidak dipublikasikan dan tidak ditinjau oleh rekan sejawat tentang vaksinnya,” kata Arthur Caplan, Direktur Etika Medis New York University Langone Medical Center. [Tribunnews]