[PORTAL-ISLAM.ID] SOAL Covid-19, ada yang percaya, tapi cukup banyak yang enggak percaya. Kabarnya ada 17 persen. Mau dijejali data kayak apapun, susah percaya.
Orang-orang macam ini memang merepotkan. Enggak peduli prokes. Bodo amat, katanya.
Ada yang setengah percaya. "Fakta ada, tapi banyak manipulasinya. Data dilebih-lebihkan" katanya.
"Hidup mati Tuhan yang menentukan, kenapa takut Covid", tambahnya. Repot juga ngadepin orang-orang macam ini.
Ada yang 100 persen percaya, tapi hari-hari lapar. Kalau enggak keluar, enggak bisa makan. Sementara, hidup mereka enggak ada yang jamin.
Kelompok ini paling banyak. Cash flow-nya harian. Hari itu dapat duit, hari itu juga buat makan. Enggak dapat duit? Kelaparan! Inilah para pedagang kecil yang berpotensi menciptakan gejolak sosial.
Bicara kelaparan, enggak pandang bulu pendukung siapa. Urusan perut, ini soal hidup mati. Mazhab politik enggak berlaku. Di sinilah pentingnya bantuan dan jaminan sosial. Harus segera, tepat waktu, cukup untuk hidup dan merata.
"Yang ditertibkan itu kerumunannya, bukan dagangannya," kata salah seorang bupati.
Cerdas! PPKM memang aturan pusat, tapi kepala daerah mesti "ijtihad" untuk menerjemahkan aturan itu di lapangan. Kalau hantam kromo, bisa menimbulkan gejolak sosial.
Enak bagi yang punya gaji bulanan, atau yang masih ada tabungan. Pandemi memang ngaruh, tapi enggak bikin mereka kelaparan. Dapur tetap ngebul, karena simpanan masih ada.
Di tengah kas negara jebol, ekonomi terkonstraksi, banyak rakyat yang kelaparan, tapi ada yang beruntung. Jumlahnya sangat kecil.
Apakah dana simpanan nasabah di bank bertambah jadi Rp 666,7 trilliun dan jumlah orang kaya di Indonesia naik hingga 61,69 persen berasal dari sini? Mesti perlu dicek datanya.
Siapa mereka? pemilik rumah sakit dan klinik, pengusaha obat-obatan, penjual suplemen, pedagang APD, mereka yang mendapat proyek bansos. Semuanya diuntungkan di masa pandemi. Pundi-pundi kekayaan semakin berlimpah. Ini hukum pasar. Permintaan naik, pasar ramai, otomatis keuntungan makin besar. Sesuatu yang alamiah.
Yang enggak alamiah ketika rumah sakit meng-covid-kan pasien yang tidak Covid, pedagang obat yang menaikkan harga obat enggak kira-kira, pengusaha yang berkolaborasi di proyek APD dan bansos untuk maling uang negara. Ini yang jadi masalah.
Ada minuman suplemen, diopinikan meningkatkan imun, diburulah oleh para pembeli. Rakyat "kelas tertentu" berlomba memborongnya. Hitungan hari, minuman itu hilang dari peredaran. Di supermarket dan minimarket mulai langka.
Beberapa hari kemudian muncul, tapi harga di pasaran sudah naik 30-40 persen. Gila! Rakyat makin tercekik.
Kerja keras pemerintah dan ketaatan rakyat terhadap prokes tercederai. Tidak sedikit yang lalu mengekspresikan kekecewaan dan kemarahannya dengan sikap dan tindakan yang tidak tepat.
Apalagi dalam situasi galau seperti ini, mereka dipertontonkan video sejumlah oknum pejabat publik yang pelesiran. Makin sakit, katanya.
Dalam kondisi pemerintah dan rakyat yang sedang buntung, tega-teganya "seenak wudele" mereka ambil untung!
Boro-boro berkorban untuk rakyat, rasa empati aja enggak ada! Sungguh tak punya perasaan.
Kepada mereka, negara mesti tegas: tertibkan! Orang-orang seperti mereka yang membuat bangsa ini sulit untuk kompak. Padahal, pandemi mestinya membuat kita makin kompak.
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa