TPUA ADALAH ADVOKAT KUASA HUKUM SEJUMLAH RAKYAT YANG MENGGUGAT PRESIDEN JOKOWI DAN DPR RI, BUKAN PENGGUGAT PRINSIPAL
Oleh: Eggi Sudjana Mastal (Ketua TPUA, Advokat Penggugat Presiden Jokowi dan DPR RI)
Penulis ingin mengkonfirmasi kepada publik, bahwa TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) berkedudukan sebagai Kuasa Hukum sejumlah rakyat yang mengajukan gugatan kepada Presiden Jokowi, bukan sebagai Penggugat Prinsipal. Dalam berbagai rilis juga data resmi nomor perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Gugatan terhadap Presiden Jokowi yang menuntut untuk mengundurkan diri dari jabatannya dengan nomor perkara: 266/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst, adalah atas nama Penggugat Muhidin Jalih dkk.
Begitu juga gugatan yang diajukan kepada DPR RI melalui nomor perkara: 265/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Pst, terdaftar atas nama Fahri Lubis dkk, bukan atas nama TPUA atau salah satu advokat TPUA. Kedudukan, peran dan fungsi TPUA adalah kuasa hukum yang mengemban amanah dari klien sebagaimana dimaksud dalam UU Advokat (UU No 18/2003).
Karena itu, penulis menghimbau kepada segenap rekan sejawat, tokoh, politisi, para aktivis agar tidak mengidentifikasi TPUA dengan Klien, atau mengidentikkannya dengan Penggugat. Ini hanyalah soal amanah yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Boleh saja, ada sejumlah rekan sejawat, tokoh, politisi, para aktivis yang berbeda pendapat dengan gugatan a quo, tidak setuju Presiden Jokowi dan DPR RI digugat. Karena perbedaan pendapat secara hukum adalah hal biasa. Karena itu, upaya menggugat di pengadilan adalah salah satu sarana untuk mendapatkan keputusan tentang adanya sejumlah perbedaan pandangan.
Di Pengadilan, Presiden Joko Widodo dan DPR RI diberikan hak untuk membela diri dan membuktikannya telah menjalankan fungsinya dengan baik. Sementara kami mewakili Penggugat, akan membuktikan dihadapan pengadilan tentang adanya disfungsi Eksekutif dan Parlemen. Biarlah Pengadilan yang akan memberikan keputusan yang seadil-adilnya.
Memang benar, ada sejumlah jasa yang diberikan sejumlah pihak kepada pribadi penulis, khususnya apa yang dilakukan oleh Saudara Sumi Dasco saat penulis keluar dari penjara karena kriminalisasi rezim Jokowi. Namun, jasa itu tidak boleh dan tidak tepat digunakan untuk membelenggu kebebasan Penulis selaku seorang advokat untuk menjalankan fungsinya.
Lagipula, pembelaan Sumi Dasco sebagai petinggi Gerindra adalah konsekuensi logis atas kriminalisasi yang dialami penulis karena membela Saudara Prabowo Subianto. Penulis ingat betul saat itu sebagai Tim Advokasi BPN (Badan Pemenangan Nasional) terhadap Paslon PilPres Prabowo - Sandi, penulis dikriminalisasi karena orasi penulis membela Prabowo di halaman rumahnya di Jl Kertanegara no 4 Jak Sel , pada tanggal 17 April 2019 silam.
Kalau mau diperhitungkan, tentu jasa penulis untuk Prabowo jauh lebih besar ketimbang peran Saudara Dasco yang menjadi penjamin pada pembebasan penulis. Walaupun, sebagai sesama anak bangsa penulis tidak pernah mengganggap Prabowo Subianto memiliki utang politik. Dinamika berbangsa pada aspek tertentu, harus dipahami sebagai ikhtiar yang IKHLAS demi kebaikan bangsa dalam perspektif masing-masing.
Soal penulis mempersoalkan kehadiran kuasa DPR RI, yang hanya mendapatkan kuasa dari Puan Maharani, tanpa wakil pimpinan DPR RI lainnya, juga dalam upaya memberikan pembelaan yang maksimal kepada klien. Dalam kesempatan konferensi pers, penulis memang menyayangkan kenapa Azis Syamsuddin, Rahmat Gobel, Muhaimin Iskandar dan Sumi Dasco tidak ikut membubuhkan tanda tangan pada surat kuasa.
Jadi, Saudara Sumi Dasco tidak perlu merasa ada hal yang aneh dalam tindakan yang penulis lakukan dalam membela klien. Jika mau complain, tidak perlu melalui orang lain, langsung pada penulis, selalu terbuka menerima kritikan dari siapapun juga.
Sebenarnya, Saudara Sumi Dasco atau pimpinan DPR RI lainnya boleh saja tidak berkenan dengan statement penulis, tetapi perlu diketahui untuk menjalankan fungsi sebagai advokat, membela klien baik didalam maupun diluar pengadilan, penulis mendapatkan perlindungan hukum. Bahwa hal itu, tentu sudah diketahui oleh semua pihak, termasuk oleh pimpinan DPR RI.
Yang lebih penting, penulis menghimbau agar advokat tidak boleh diidentikkan dengan kliennya. Penulis adalah kuasa hukum, bukan penggugat prinsipal. UU Advokat menegaskan:
Pasal 18
(1) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
(2) Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
TPUA tidak mungkin menolak menggugat Presiden Jokowi dan DPR RI, karena bertentangan dengan ketentuan pasal 18 ayat (1) UU Advokat. TPUA tidak dapat dianggap sebagai klien, atau diidentikkan sebagai prinsipal yang menggugat Presiden Jokowi dan DPR RI.
Lagipula, dalam menjalankan fungsinya advokat dilindungi oleh UU. Advokat memiliki imunitas hukum dalam menjalankan tugas baik didalam maupun diluar pengadilan.
Pasal 16 UU advokat menegaskan:
"Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan".
Karena itu, sejauh upaya yang dilakukan TPUA adalah dalam koridor membela klien, penulis berharap semua pihak dapat menghargai profesi penulis sebagai advokat di TPUA dalam menjalankan fungsi advokat.
Meskipun demikian, penulis tetap memberikan apresiasi dan penghargaan serta terima kasih yang setinggi-tingginya terhadap setiap pihak yang pernah berjasa ikut berperan dalam pembebasan penulis, khususnya kepada Saudara Sumi Dasco.(*)