PPKM Darurat, Lockdown Tapi Rakyat Yang Nanggung Biayanya
Pemerintah secara resmi akan memberlakukan PPKM darurat mulai Sabtu (3/7). Kebijakan tersebut akan berlaku selama 18 hari. PPKM Darurat yang berlaku untuk Jawa dan Bali itu, akan berakhir bersamaan dengan Hari Raya Iedul Adha 1442 H, Selasa 20 Juli 2021. Dengan pemberlakuan PPKM Darurat berlaku berbagai pembatasan: Perkantoran, pertokoan, mall, tempat-tempat ibadah, tempat hiburan, dan publik area ditutup.
Semua kegiatan yang bisa menimbulkan keramaian, mulai dari olahraga,seni budaya, kegiatan sosial, semuanya ditiadakan. Semua tranportasi umum dibatasi maksimal 70 persen dari kapasitas. Sementara rumah makan, warung, cafe hanya menerima delivery/take away. Supermarket, pasar tradisional, toko kelontong dan tempat belanja kebutuhan sehari-hari jam operasionalnya dibatasi. Hanya beberapa sektor yang esensial tetap buka, untuk melayani kepentingan publik.
Secara esensi PPKM Darurat sebenarnya hampir sama dengan lockdown, namun dengan beberapa modifikasi. Pembatasan secara ketat semacam ini walaupun terlambat, namun perlu tetap diapresiasi dengan berbagai catatan. Sejak awal pandemi, sesungguhnya para ahli epedimiolog sudah menyarankan dilakukan pembatasan yang ketat untuk mencegah penyebaran pandemi.
Secara scientis pembatasan yang ketat atau yang dikenal dengan lockdown terbukti berhasil mengendalikan penyebaran virus Corona. Negara-negara yang melakukan lockdown, kini merayakan “kemenangan” melawan pandemi. Aktivitas warga dilonggarkan, termasuk melepas masker. Namun pemerintah tampaknya sangat alergi dengan istilah lockdown. Para buzzer pemerintah bahkan beramai-ramai menyerang para ahli yang menyarankan lockdown.
Maka muncul lah berbagai istilah seperti PSBB, PPKM Mikro, sampai PPKM Darurat. Hasilnya seperti kita rasakan sekarang. Setelah 16 bulan melawan pandemi, kita harus menghadapi realitas pahit. Angka penularan Covid bukannya menurun, malah melonjak. Fasilitas kesehatan terancam kolaps, dan perekonomian rakyat remuk. Dengan PPKM Darurat sejatinya pemerintah telah melakukan lockdown, namun biayanya ditanggung sendiri oleh rakyat. Konskuensi lockdown, alias karantina kewilayahan sebagaimana diatur UU, pemerintah harus menanggung biaya hidup semua warga. Termasuk binatang ternak di wilayah tersebut.
Inilah tampaknya yang sejak awal dihindari oleh pemerintah, di luar adanya kepentingan lobi bisnis yang tetap menginginkan aktivitas perekonomian, dengan mengabaikan kesehatan rakyat. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan selama PPKM Darurat Bansos diperpanjang, sementara tarif listrik didiskon.
Pemerintah juga membuka kembali pendaftaran Kartu Prakerja untuk 2,8 juta orang. Dana yang digelontorkan sebesar Rp 10 trilyun. Tapi semua itu tidak memadai. Tidak mencover semua kebutuhan warga. Sejak awal program Kartu Prakerja juga dikritik. Pertama, program ini sangat absurd. Memberikan pelatihan kerja disaat banyak lapangan kerja yang tutup. Mereka mau kerja dimana?. Kedua, penikmat utamanya adalah mitra platform yang menyediakan modul-modul pelatihan. Kebanyakan mereka adalah orang dekat lingkar kekuasaan. Beberapa waktu lalu pemilik platform adalah salah seorang Staf Milineal Presiden.
Dari anggaran Kartu Prakerja kali ini sebesar Rp 2,8 triliun masuk ke kantong mitra platform. Ketiga, materi yang disediakan oleh mitra platform kebanyakan bisa diperoleh secara gratis di berbagai platform media sosial. Jadi pemerintah hanya buang-buang dan bagi-bagi anggaran. Sekarang rakyat dihadapkan pada pilihan yang sangat berat dan sulit. Ancaman Covid makin menggila. Beban kehidupan bertambah berat. Sementara pemerintah memberlakukan kebijakan, tapi tak mau menanggung biayanya.
Lantas apa gunanya kita punya pemerintah?