Percaya Corona
Corona itu ada. Covid-19 itu nyata. Baiklah, kita tidak akan menyangkal itu. Keberadaannya sama halnya dengan virus-virus yang lain, seperti HIV, Ebola, Herves, Rabies dan lain-lain.
Sebagai penyakit, Corona ini sama halnya dengan berbagai penyakit yang lain, seperti TBC, Muntaber, Kangker, Tifus dan lain-lain.
Detailnya seperti apa, tingkat pembunuhannya seperti apa, tentu para pakar yang mengetahuinya. Kita sebagai awam memilih percaya saja kepada pendapat mereka, sesuai dengan pengetahuan dan ilmu yang mereka miliki.
Walau mereka saling berbeda, kita pun berhak memilih mana pendapat yang menenangkan hati kita. Dalam hal ini sepenuhnya saya percaya pendapat dr. Siti Fadilah Supari.
Jadi, kita ini bukan tidak percaya Corona. Tapi kita menyoal cara penanganan Pemerintah yang pada banyak kenyataan justru berpotensi memperlebar penyebaran virus tersebut.
Melakukan swab secara berjamaah di satu lokasi, ini justru bertentangan dengan prinsip jaga jarak. Padahal jaga jarak, konon adalah salah satu cara untuk memutus rantai penyebaran virus ini.
Kegiatan vaksin berjamaah juga demikian, tumpukan orang terjadi, sehingga tidak bisa menjaga jarak.
Belum lagi pos pos penyekatan di banyak tempat, yang juga menciptakan kerumunan. Adu mulut dan bahkan nyaris baku hantam antar orang, itu juga pada akhirnya membuat orang tidak menjaga jarak.
Saya sendiri pernah mengalami, bagaimana rasanya terpaksa berkerumun, demi untuk melakukan swab anti gen, ketika ingin menyeberang dari Bakauheni ke Merak. Seorang Polisi berseru, “Ini kalau berkerumun seperti ini, yang tadinya sebenarnya negatif, malah bisa jadi posistif!”
Segenap kejadian terkait corona ini pun benar-benar menciptakan horor pada banyak orang. Berita Corona yang sengaja di-blow up sedemikian rupa.
Termasuk cara penanganan, pencatatan dan penguburan jenazah Corona, pun dibuat begitu dramatis.
Kelambatan penyelesaian administrasi menyebabkan penumpukan di rumah sakit dan akhirnya memperlambat proses pemakaman.
Belum lagi wira-wiri pasien dan jenazah dari satu tempat ke tempat lain, ini menjadikan ambulance lalu-lalang di jalan dengan sirene kematian yang menakutkan warga.
Kemudian pencatatan nama-nama orang yang meninggal karena (konon) Corona, yang daftarnya terus bertambah dan di-update secara berkala ke publik. Surabaya sekian orang, Jakarta sekian banyak, Semarang pertumbuhan sekian persen dan lain sebagainya.
Inilah yang menyebabkan orang-orang yang merasa dirinya terjangkit virus ini menjadi panik. Kemudian akhirnya mereka mati lebih karena kepanikan itu, bukan karena coronanya. Sebab sebenarnya, antara yang sembuh dan yang mati, itu jauh lebih banyak yang sembuh.
Seorang kawan saya, dia bersama anak-anaknya dan juga istrinya, divonis positif corona. Diisolasi di tempat terpisah Semua sembuh, kecuali istrinya yang akhirnya meninggal dunia -rahimahallahu Ta'ala.
Saya dengan kawan-kawan yang lain berujar, “Paling bujone konco iki khawatir nemen, mikirno awak,e dewe, mikir anak-anak,e yo mikir bujone.”
Bagaimana tidak, pada saat yang bersamaan, mereka sekeluarga dinyatakan Corona, diisolasi di tempat terpisah, tidak bisa saling melihat dan seterusnya. Tentu kekhawatiran demikian mencekam.
Saya kira hal-hal di atas yang perlu segera dibenahi Pemerintah, daripada hal hal normatif yang seringkali sekedar formalitas kontraproduktif.
(Ustadz Abrar Rifai)