Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Kelihatannya sepele, tapi isu Rektor UI rangkap jabatan Komisaris BRI mengungkap buruknya bangunan moral, etika, dan birokrasi pemerintahan Jokowi.
Jadi bukan macam Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Ngabalin yang berkata siapa saja yang nyinyir soal itu harus diperiksa pengetahuannya. "Karena benci, semua orang diajak."
Dengarkanlah Dewan Pakar Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang menyatakan: "Perubahan Statuta UI menunjukkan bahwa ini preseden (contoh) yang buruk bagi tata kelola perguruan tinggi."
Jika statuta universitas bisa diubah setiap saat tergantung kebutuhannya, menunjukkan bahwa statuta itu sesuatu yang pragmatis. Itu bukan contoh baik bagi dunia pendidikan. Padahal statuta merupakan alat untuk tata kelola universitas dan pencetak generasi masa depan bangsa.
Pendapat P2G beda kelas dengan celotehan buzzer bentukan konsultan yang mengutak-atik terminologi 'pejabat' dalam UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), dengan mengatakan komisaris bukan pejabat BUMN. Itu di luar konteks sebab UU ASN berbicara tentang pejabat negara, pejabat pimpinan tinggi, pejabat administrasi, pejabat fungsional, pejabat yang berwenang, pejabat pembina kepegawaian...
Komisaris adalah pejabat BUMN. Ketika diangkat Komisaris BRI pada Februari 2020, Rektor UI dilarang merangkap pejabat BUMN kecuali membuat surat bersedia mengundurkan diri (Peraturan Menteri BUMN tahun 2015). PP 75/2021 tidak berlaku surut. Simpel.
Yang agak 'rumit' adalah makin merosotnya kepercayaan publik terhadap Jokowi. The Strait Times dan Bloomberg sampai mengutip hasil survei LSI soal itu. Plus, menyebut tagar #BapakPresidenMenyerahlah. Just give up, Mr. President.
Menurut media itu, Presiden dikeliling pebisnis-birokrat. Kebijakan Covid-19 bukan didominasi pertimbangan kesehatan tapi lebih karena ekonomi, itu pun atas desakan orang-orang sekeliling presiden yang berelasi dengan bisnis tertentu. Ketua Umum KADIN Rosan Perkasa (dicalonkan Presiden sebagai Dubes Amerika Serikat) dan Menteri BUMN Erick Thohir beberapa di antaranya.
Mengapa Ari Kuncoro 'penting', sebab ia adalah jalan masuk pemakaian lembaga UI sebagai back-up kebijakan pemerintah dan swasta yang dikendalikan segelintir birokrat-pebisnis.
LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI (Ari adalah bekas dekannya) adalah langganan back-up akademis bisnis Gojek. Dialah arsitek opini ekonomi bahwa Gojek berkontribusi Rp55 triliun kepada negara. Di balik Gojek, ada Boy Thohir, kakak Menteri BUMN.
Ari adalah 'buzzer-akademis' penerbitan UU Cipta Kerja. Rosan (Rosan Perkasa Roeslani eks Ketua Umum KADIN, sekarang diangkat jadi Dubes AS) adalah ketua tim akselerasi UU Cipta Kerja, yang kita tahu di dalamnya memuat aturan penting soal perpanjangan kontrak batu bara. Di dalamnya ada Adaro, Bakrie Group, dsb.
Politisi PDIP Arteria Dahlan pun menyebut Nadiem Makarim (pemilik Gojek) dan Erick Thohir tidak taat hukum karena isu Statuta UI ini. Bagi saya, Nadiem juga tidak istimewa dalam jabatannya sebagai Mendikbud.
Mantan Wakil Ketua Umum Gerindra Arif Poyuono, yang saya dengar agak merapat ke Golkar sekarang, malah terang-terangan menyebut Erick Thohir sedang membentuk jaringan kampus untuk persiapan pencalonan presiden 2024.
Itu cara yang sama ketika Erick Thohir sebagai ketua tim kampanye Jokowi dulu 'menganeksasi' Majelis Wali Amanat UI yang kemudian memunculkan gugatan dari sejumlah mahasiswa UI, meskipun berakhir dengan putusan tidak diterima (NO) oleh PT Tata Usaha Negara DKI Jakarta.
Presiden seolah membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan segelintir pebisnis birokrat.
Pertanyaannya, kenapa itu terjadi? Hubungan simbiosis-mutualisme seperti apa yang terjadi?
1) Apakah ini memang disengaja sebagai strategi manajemen konflik Presiden untuk mengendalikan rivalitas di antara kelompok-kelompok politik di dalam Istana?;
2) Apakah ini sekadar konsekuensi balas jasa donasi kampanye?;
3) Apakah memang Presiden tidak punya wibawa dan kecakapan personal di muka orang-orang itu?;
4) Apakah memang pebisnis-birokrat ini sudah sangat terkonsolidasi kuat, menyebar, dan bersepakat untuk mengontrol pemusatan kekuasaan dengan membentuk 'negara di dalam negara'?;
5) Apakah ini pamer kekuatan segelintir birokrat-pebisnis kepada hedge fund/lembaga internasional bahwa merekalah penguasa sesungguhnya?
Itu spekulasi saja.
Tapi yang jelas kita lihat adalah kekuasaan dijalankan secara serampangan oleh presiden, mekanisme hukuman terhadap pejabat yang buruk tidak terjadi, kegaduhan politik dan ketidakpercayaan masyarakat meningkat, ekonomi arus bawah makin terpuruk, jumlah orang kaya meningkat dan kesenjangan makin lebar, tingkat kematian akibat pandemi tinggi, wibawa presiden makin keropos...
Semakin hari, semakin banyak yang muak melihat polah pejabat.
Jika urusan 'sepele' seorang Rektor UI saja negara kalah, jangan mimpi negara ini akan berjaya di kemudian hari.
Salam Negara di Dalam Negara.
[fb]