KEFFIYEH, Selembar Kain SIMBOL PERLAWANAN
1 Juli 1994 menjadi hari yang bermakna dan bersejarah bagi rakyat Palestine. Hari di mana Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah kelahirannya di Palestine sejak pengasingannya pada 1967.
Yasser Arafat, yang juga dikenal sebagai Abu Ammar, muncul dengan memakai kuffiyeh/kaffayeh/keffiyeh khasnya saat tiba di Jalur Gaza. Ia disambut puluhan ribu rakyat Palestina. [Republika, 2/7]
Keffiyeh, selembar kain bermotif kotak-kotak hitam putih atau hitam merah itu lalu menjadi simbol perlawanan bangsa Palestine.
Setiap kali muncul di media, Yasser Arafat selalu memakainya dengan cara yang khas, yakni ujung kain yang lebih panjang diletakkan di atas bahu kanan. Ini menyimbolkan peta Palestina sebelum tahun 1948.
Dalam sejarahnya, keffiyeh merupakan kain tradisional yang dikenakan para petani untuk melindungi diri dari sengatan matahari dan badai pasir. Pada musim dingin, keffiyeh digunakan untuk melindungi dari hujan dan cuaca dingin.
Sumber lain mengatakan, seperti yang dirilis dari Middle East Eye, kata keffiyeh bermakna "berhubungan dengan Kufah". Sebuah kota di selatan Baghdad yang terletak di sepanjang sungai Efrat. Pada waktu itu penduduk Kuffah mengenakan keffiyeh sebagai pelengkap pakaian harian.
Sedangkan menurut Anu Lingala, penulis "A Socio-Political History of the Keffiyeh", “Menutup kepala adalah prinsip penting dalam budaya tradisional Palestina," jelasnya.
Pada saat perang Arab melawan penjajahan Inggris tahun 1936, para mujahid mengenakannya untuk menutup muka supaya tidak dikenali dan menghindari penangkapan.
Sekalipun desainnya hanya kotak-kotak sederhana, namun sejatinya sarat dengan makna simbolis. Yakni representasi pohon zaitun yang menunjukkan kekuatan dan ketahanan.
Pohon zaitun tidak hanya menjadi sumber penghidupan bagi bangsa Palestine. Lebih dari itu, pohon zaitun juga hadir dalam puisi, lagu, tatreez, makanan, cerita rakyat, hingga sejarah keluarga.
Sebelum zionis menduduki wilayah Palestine, ada lebih dari 30 pabrik keffiyeh yang beroperasi di berbagai daerah di Palestine. Sekarang hanya tersisa satu, yakni pabrik Hirbawi.
“Kami memproduksi lebih dari 150 ribu lembar keffiyeh setiap tahun,” jelas Judeh Hirbawi. Pabrik itu didirikan keluarganya tahun 1961 dan mengoperasikan lebih dari 15 mesin.
Belum lama sempat viral di sosial media, mengiringi ramainya berita perang 11 hari di Gaza, perusahaan fashion ternama Louis Vuitton dan Fendi merilis stola (syal) bermotif mirip keffiyeh.
Tak tanggung-tanggung, Louis Vuitton menjual selembar stolanya seharga 700 USD atau setara Rp 9,9 juta, sedangkan Fendi membanderolnya 835 USD atau Rp 11,9 juta.
Kontan hal ini memicu protes netizen, karena menganggap dua perusahaan fashion ini tidak peka dan tidak punya rasa empati pada penderitaan rakyat Palestine.
Sekalipun hanya sebagai simbol, namun selembar keffiyeh bisa menyatukan solidaritas warga dunia untuk memberikan dukungannya pada saudara-saudara kita di Palestine.
Seandainya kain itu sudah ada sejak 834 tahun lalu, pastilah Shalahuddin Al Ayyubi dan pasukannya juga memakainya saat bertempur dalam perang Hittin.
Sebuah peperangan besar yang menandai kembalinya kehormatan Baitul Maqdis pada umat Islam, yang dicatat sejarah terjadi pada 3 Juli 1187.
Jakarta, 2/7/2021
(By Uttiek)