Desain Politik Dalam Pembunuhan 6 Pengawal HRS
Oleh: M. Rizal Fadillah (Pemerhati politik dan kebangsaan)
DESAIN politik adalah temuan utama yang terkuak dari launching Buku Putih "Pelanggaran HAM Berat" oleh Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Pengawal HRS, Rabu siang (7/7/2021).
Sebagai desain politik maka pembunuhan merupakan rangkaian sistematik dari perburuan "musuh politik" Habib Rizieq Shihab.
Ketika Amien Rais menyatakan TNI atau Polri bukan sentral maka penegasannya adalah bahwa TNI dan Polri hanya menjadi alat atau bagian dari desain politik tersebut.
Pengambil keputusan politik telah melakukan operasi sistematik dengan memperalat penegakkan hukum oleh Polri atas bantuan TNI.
Pada tanggal 7 Desember 2020 secepatnya Kapolda Metro bersama Pangdam Jaya melakukan konperensi pers dengan menunjukkan alat-alat bukti yang penjelasannya kemudian berubah-ubah.
Arahnya adalah agar keenam anggota laskar FPI itu dipersepsikan bersalah dalam peristiwa "tembak menembak" di area jalan tol Jakarta-Cikampek.
Desain politik melalui operasi intelijen sampai dibunuhnya keenam anak muda tersebut dilakukan secara sistematis baik dalam waktu yang panjang maupun jam per jam bahkan menit per menit.
Operasi dilaksanakan oleh aparat di lapangan atas dasar koordinasi dan surat tugas, bukan inisiatif sendiri.
Buku Putih dilaunching TP3 dengan harapan Pemerintah dapat mendorong Komnas HAM dan aparat penegak hukum agar meningkatkan langkah pemrosesan dari pelanggaran HAM biasa menjadi Pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Mengingat desain politik dari pembunuhan berencana tersebut, maka konsekuensi dari temuan Tim sebagaimana yang menjadi konten Buku Putih TP3 itu adalah:
Pertama, Komnas HAM harus melanjutkan pekerjaan untuk melakukan penyelidikan pro-justisia dan menyerahkan kesimpulan hasil penyelidikannya langsung kepada penyidik Kejaksaan Agung untuk proses penyidikan dan penuntutan lebih lanjut di Pengadilan HAM.
Kedua, sebagai kasus kejahatan kemanusiaan maka dugaan keterlibatan atasan atas pekerjaan bawahan memiliki probabilitas tinggi. Adalah adil dan wajar jika Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran dan mantan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurahman segera di nonaktifkan terlebih dahulu.
Ketiga, TP3 mengajak berbagai elemen masyarakat untuk mengawal dan mengadvokasi kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat agar proses hukum dapat dilaksanakan secara jujur dan transparan. Buku Putih menjadi acuan dari pengawalan bersama tersebut.
Keempat, mengingat indikasi adanya kegiatan intelijen, maka pimpinan BIN dapat diminta keterangan bahkan pertanggungjawaban mengenai operasi ini, apakah benar anggota bekerja atas tugas resmi lembaga atau ada operasi lain diluar pertanggungjawaban resmi.
Kelima, dengan dugaan adanya disain politik yang menandai pembunuhan enam pengawal HRS, maka Presiden Jokowi patut pula dimintakan keterangan baik melalui kesaksian di Pengadilan HAM maupun dalam proses penggunaan hak-hak politik yang dimiliki oleh anggota maupun lembaga perwakilan rakyat.
Kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat dengan melakukan pembunuhan dan penyiksaan kepada enam pengawal HRS adalah kasus serius yang harus dituntaskan. Siapapun yang terlibat baik pelaku maupun aktor intelektual di belakangnya tidak boleh lolos dan berlepas tangan tanpa pertanggung jawaban.
Buku Putih "Pelanggaran HAM berat" adalah dokumen penting untuk menguak penggelapan kebenaran dan desain politik jahat penguasa yang terjadi di negara bersendi Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. (*)