Batal Cuan Vaksinasi Berbayar
Margin penyediaan vaksin adalah 20 persen dan margin fasilitas penyuntikan 15 persen. Bila dikalkulasi, margin total per paket untuk dua kali suntikan ialah Rp 164.037. Angka ini berasal dari jumlah Rp 128.664 untuk margin vaksin ditambah Rp 35.373 untuk margin jasa. Maka, dengan target 15 juta orang untuk dua kali penyuntikan, total cuan yang didapat adalah Rp 2,46 triliun.
Pernyataan Sekretaris Kabinet Pramono Anung bahwa Presiden Joko Widodo membatalkan vaksin berbayar, kemarin, membuyarkan rencana pelbagai pihak yang ingin mengambil untung dari proyek ini.
"Presiden telah memberi arahan dengan tegas, untuk vaksin berbayar yang rencananya disalurkan melalui Kimia Farma, semua dibatalkan dan dicabut, sehingga semua vaksin tetap dengan mekanisme yang digratiskan," kata Pramono, Jumat, 16 Juli 2021.
Sebelum dihentikan, vaksinasi berbayar menjadi sorotan publik, baik di dalam maupun di luar negeri. Skema vaksinasi gotong royong individu tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Covid-19 yang terbit pada 6 Juli lalu. Pemerintah semula berdalih skema ini merupakan upaya untuk mempercepat laju vaksinasi.
Melalui aturan itu, pemerintah menunjuk PT Bio Farma (Persero) sebagai distributor vaksin berbayar. PT Kimia Farma Tbk, anak usaha Bio Farma, juga ditunjuk sebagai pelaksana. Sedianya, Kimia Farma menggelar vaksinasi berbayar pada Senin 12 Juli kemarin. Namun pelaksanaannya ditangguhkan lantaran banyaknya kritik.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan ide vaksin berbayar bermula dari rapat di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian yang diinisiasi Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN). Budi mengatakan rapat itu digelar pada 26 Juni lalu. "Rapat melihat vaksinasi gotong royong itu speed-nya sangat perlu ditingkatkan," kata Budi Gunadi dalam rapat kerja dengan Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa lalu.
Menurut Budi, vaksinasi gotong royong hanya menyumbang 10-15 ribu dari target 1,5 juta vaksinasi Covid-19 per hari. Rapat itu juga mengusulkan beberapa ide, dari vaksin gotong royong bagi daerah, rumah sakit, anak, ibu hamil, dan ibu menyusui hingga individu.
Kesimpulan rapat di kantor Menteri Airlangga Hartarto itu kemudian dibawa ke rapat kabinet terbatas yang dipimpin Jokowi pada 28 Juni. Dengan masukan Menteri Airlangga, Budi menerbitkan aturan vaksinasi individu berbayar. "Habis dari situ (rapat kabinet terbatas), Menko Perekonomian memberikan masukan, kemudian kami harmonisasi, kami keluarkan," kata Budi.
Penelusuran Tempo mengungkap bahwa Budi Gunadi sebetulnya tidak sepakat atas ide vaksinasi individu berbayar. Narasumber itu mengatakan Budi berupaya membicarakan perihal penolakannya ini dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Namun Pratikno menyarankan agar Budi menyampaikan langsung kepada Jokowi.
Sumber Tempo mengatakan Budi lantas menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap skema vaksin berbayar dalam rapat kabinet terbatas pada Senin 28 Juni itu. Suasana sempat tegang karena ada pendapat berbeda dari menteri lain. Sampai akhirnya Jokowi menengahi dengan meminta kedua menteri menjalankan tugas masing-masing.
Budi Gunadi dan Pratikno tak merespons upaya permintaan konfirmasi Tempo mengenai cerita tersebut. Demikian pula Airlangga Hartarto serta Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan yang masuk dalam KPC-PEN.
Melalui situs webnya, ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, memaparkan sejak awal pemerintah sesungguhnya sudah memunculkan wacana vaksinasi berbayar. Pada November lalu, kata dia, pemerintah menetapkan komposisi program vaksin berbayar mencapai 70 persen dan vaksin gratis hanya 30 persen.
Rancangan pemerintah itu mendapat sorotan masyarakat. Gelombang protes muncul disertai berbagai petisi. Masyarakat mendesak pemerintah memberikan vaksin secara gratis di tengah situasi pandemi Covid-19.
Meski akhirnya pemerintah menetapkan vaksin diberikan secara gratis untuk seluruh penduduk, rencana untuk menggelar program vaksin berbayar tak hilang begitu saja. Dengan dalih percepatan vaksinasi, rencana membuka vaksin berbayar pun kembali muncul.
"Menteri Kesehatan mengetahui pengadaan vaksin komersial ini mengingat ia terlibat dalam proses penjajakan ketika masih menjabat Wakil Menteri BUMN,” kata Faisal.
Hingga 13 Juli 2021, Kimia Farma telah mendatangkan 1,5 juta dosis vaksin Sinopharm untuk program vaksin berbayar. Pada tanggal yang sama, datang pula 1,4 juta dosis dan 4 juta dosis kemarin. Total komitmen pengadaan vaksin gotong royong ini mencapai 15 juta dosis.
Vaksinasi gotong royong individu dilaksanakan oleh Kimia Farma. Aturan yang memayungi vaksinasi itu digodok sejak 26 Juni dan diterbitkan pada 6 Juli lalu. Dalam Permenkes Nomor 19 Tahun 2021, ditetapkan harga dan margin vaksinasi berbayar maksimal Rp 321.660 per dosis dan biaya pelayanan Rp 117.910 per dosis. Adapun untuk biaya paket lengkap dua suntikan dibanderol Rp 879.140.
Margin penyediaan vaksin adalah 20 persen dan margin fasilitas penyuntikan 15 persen. Bila dikalkulasi, margin total per paket untuk dua kali suntikan ialah Rp 164.037. Angka ini berasal dari jumlah Rp 128.664 untuk margin vaksin ditambah Rp 35.373 untuk margin jasa. Maka, dengan target 15 juta orang untuk dua kali penyuntikan, total cuan yang didapat adalah Rp 2,46 triliun.
Sebelum akhirnya pemerintah menyetop vaksin berbayar, kemarin, Faisal Basri telah menyarankan agar pemerintah menghentikannya pada Jumat lalu. Alasan Faisal adalah untuk mencegah praktik rente dari vaksinasi gotong royong.
Faisal juga mengatakan pemerintah bisa bertanggung jawab mengambil alih stok vaksin Kimia Farma dan BUMN farmasi lain yang sudah kadung memesannya.
“Sebab, pada awalnya BUMN farmasi hanya menjalankan penugasan pemerintah. Sedangkan kebijakan pemerintah sudah berubah. Karena itu, rencana harus direvisi,” kata Faisal.
(Sumber: Koran TEMPO, 17 Juli 2021)