𝗔𝗗𝗔𝗕 𝗣𝗘𝗠𝗜𝗠𝗣𝗜𝗡
Dalam buku "Leading Through a Pandemic”, Charles Kenney dan Michael J. Dowling menulis setidaknya ada tiga karakter kepemimpinan yang diperlukan untuk mengatasi krisis saat ini, yaitu integritas, rendah hati, dan empati.
Integritas adalah kata kunci yang penting untuk membangun kepercayaan publik bahwa krisis ini bisa diatasi; sekaligus kata kunci agar kita bisa menjahit solidaritas masyarakat, karena mustahil krisis ini bisa dipecahkan sendirian oleh pemerintah.
Rendah hati adalah kata kunci kedua. Pandemi semacam ini hanya muncul setidaknya seratus tahun sekali, skalanya bersifat global, sehingga mustahil bisa diatasi dengan cepat dan segera. Butuh kehati-hatian dan sikap rendah hati dalam mengatasi rangkaian krisis yang terjadi.
Empati adalah kata kunci berikutnya. Korban Covid-19 bukanlah hanya angka atau statistika. Mereka ada ayah, anak, suami, isteri, paman, kakak, adik, atau saudara dari seseorang. Sehingga, dibutuhkan empati yang tinggi dalam mengelola dan mengkomunikasikan pandemi.
Sayangnya, sejak awal tiga karakter yang diperlukan untuk mengatasi krisis akibat pandemi ini tak dimiliki oleh sebagian besar pejabat publik kita. Soal integritas, misalnya. Sejak awal, para pejabat kita cenderung menyangkal, bahkan menganggap Covid-19 ini sebagai obyek lelucon, mulai dari Menteri Kesehatan, Menteri Perhububungan, Menko Polhukam, Menko Perekonomian, Menko Kemaritiman, dan lain-lain. Akibatnya, ketika pandemi benar-benar datang, kita jadi kalang kabut. Karena para pejabat kita menganggap enteng, bahkan cenderung menyangkal, sebagian masyarakatpun akhirnya jadi mengecilkan persoalan ini.
Pemerintah juga kehilangan integritasnya ketika tiba-tiba membuka opsi vaksinasi berbayar secara individual, padahal tingkat vaksinasi secara nasional ketika itu baru mencapai angka 6 persen. Kita tahu, meskipun kebijakan ini kemudian dianulir kembali, namun masyarakat kadung kehilangan kepercayaan pada Pemerintah.
Mungkin sedikit yang menyadari, tanpa kepemimpinan yang berintegritas, tata kelola pemerintahan yang berintegritas, krisis kesehatan ini bisa meluas menjadi krisis lain yang jauh lebih luas.
Pemerintah juga tidak rendah hati dalam menangani krisis ini. Klaim Menko Kemaritiman tempo hari soal penanganan pandemi yang terkendali adalah contohnya. Padahal, pada saat yang bersamaan, Wakil Presiden sendiri ketika itu menyatakan kita berada dalam situasi kewalahan.
Dalam soal empati, Pemerintah juga telah kehilangan empatinya. Kemenkes baru-baru ini mengakui telah menunggak biaya rumah sakit hingga Rp37 triliun untuk penanganan Covid-19 pada 2020-2021. Pemerintah juga masih utang Rp196 miliar ke hotel-hotel yang digunakan untuk Isoman. Namun, di sisi lain, Menteri BUMN malah mengajukan Penyertaan Modal Negara senilai Rp106 triliun untuk menolong sejumlah BUMN yang kolaps akibat malpraktik kebijakan manajemennya. Empatinya di mana?
Krisis ini mungkin masih panjang. Ada baiknya para pejabat publik memperhatikan kembali adab mereka. Tanpa adab yang baik, mustahil kita bisa melanjutkan per-adab-an yang kini masih dihidupi.
(Tarli Nugroho)