Ada da'i yang bilang: "Shaf rapat saja takut, apalagi kalau disuruh jihad..." aw kama qaala.
Mari kita urai:
1. Rapatnya shaf bukan syarat sah shalat, juga bukan syarat jamaah, bahkan mayoritas ulama termasuk empat madzhab menyatakan hukumnya mandub (sunnah), bukan wajib.
Tidak selayaknya bersikap keras dan kaku pada perkara mandub, apalagi jika ada kondisi khusus yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
2. Tidak hadir shalat jamaah, tidak hadir shalat Jum'at, tidak merapatkan shaf, dan lain-lain, merupakan rukhshah yang difatwakan oleh para ulama pada kondisi pandemi virus corona saat ini. Yang memfatwakan para ulama dari berbagai negeri, bukan hanya satu dua ulama saja.
Dan ini sesuai dengan kaidah "laa dharara wa laa dhirara" (jangan melakukan sesuatu yang menimbulkan kemudharatan diri sendiri dan orang lain), "dar'ul mafasid muqaddam 'ala jalbil mashalih" (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan) dan lain-lain. Yang saya yakin, thalabatul 'ilm yang pernah belajar fiqih betul-betul, paham kaidah ini.
Oh ya, penerapan rukhshah ini tentu tidak asal-asalan, tapi harus melihat situasi dan kondisi yang ada, tingkat bahaya, dan lain-lain. Tidak dipukul rata.
Namun menolak rukhshah semacam ini sepenuhnya, dan menganggap mengambil rukhshah ini sama dengan menolak perintah Allah dan Rasul-Nya, lebih takut virus daripada Allah, dan semisalnya, jelas adalah kebodohan dalam agama.
3. Membandingkan mengambil rukhshah semacam ini dengan takut jihad adalah qiyas ma'al fariq, kejauhan dan tidak nyambung.
Setiap amal ketaatan, punya masyaqqah dan konsekuensi logisnya masing-masing, yang berbeda-beda. Shalat dan puasa misalnya, tidak berkonsekuensi kematian. Bahkan, jika dipastikan atau ghalabatuzh zhan, orang yang puasa akan menyebabkannya jatuh pada kematian, ia bisa diharamkan puasa. Demikian juga shalat, tidak selayaknya ia memperbanyak shalat sunnah, jika itu membuatnya jatuh pada dharar.
Sedangkan jihad qital, memang konsekuensinya mati, syahid di jalan Allah. Orang pergi berperang, tidak boleh mundur karena khawatir mati. Karena mati memang konsekuensi perang. Sebaliknya shalat berjamaah, kalau menimbulkan dharar, maka ia boleh tidak menghadirinya, bahkan jika potensi dhararnya bisa menimpa banyak orang, ia layak dilarang hadir jamaah.
4. Inilah pentingnya belajar fiqih, supaya bisa tawazun dan i'tidal dalam beragama, tidak ekstrem kanan atau kiri, tidak ghuluw dan tidak taqshir, tidak ifrath dan tidak tafrith.
(Ustadz Muhammad Abduh Negara)