[PORTAL-ISLAM.ID] Warga Palestina menyambut keruntuhan pemerintahan Benjamin Netanyahu, walaupun tetap meyakini itu tidak akan mengubah nasib mereka.
Oposisi Israel telah membentuk koalisi baru untuk pemerintahan baru, yang akan menggulingkan Benjamin Netanyahu dari kekuasaan selama 12 tahun.
Barisan Oposisi ini dipimpin Yair Lapid pemimpin Partai Yesh Atid (Ada Masa Depan), Naftali Bennett pemimpin Partai Kanan Baru, dan Mansour Abbas pemimpin Partai Arab Bersatu. Naftali Bennett yang akan menjadi Perdana Menteri baru Israel.
"Ini akhir era kelam Netanyahu," kata Kareem Hassanian (44 tahun), seorang psikolog Palestina yang tinggal di Jalur Gaza, lokasi yang menjadi medan pertempuran Israel dan Hamas, seperti yang dilansir dari The Guardian pada Jumat (4/6/2021).
Namun, di lain sisi ia terpikir, "Dan ini adalah awal dari era kegelapan baru. Koalisi baru tidak akan berbeda dari (pemimpin) yang sebelumnya. Israel masih menduduki Palestina. Kami belum melihat akhir dari pendudukan di tahun mendatang."
Jika koalisi baru dari barisan oposisi kuat dan mendapat dukungan parlemen, maka dapat segera mengakhiri 12 tahun pemerintahan Netanyahu.
"Kami telah banyak menyaksikan (siluh bergantinya) pemimpin Israel, tetapi pembangunan permukiman (Yahudi) baru dan kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza tetap berlanjut," ungkap Kareem pasimistis.
Basem Abu Shanab (37 tahun), seorang guru di Gaza, memiliki pemikiran yang sama.
"Saya senang bahwa penjahat Netanyahu tidak akan berkuasa lagi. Ini adalah akhir dari setiap penjahat," ujarnya.
"Tapi (Naftali) Bennett dan (Yair) Lapid adalah dua pemimpin Israel yang tidak akan mampu membawa perubahan nyata dalam hubungan dengan Palestina," imbuhnya.
"Kami akan tetap seperti sebelumnya, dalam hubungan konfrontatif dengan pendudukan (penjajah), terlepas dari siapa perdana menterinya, karena pengalaman sebelumnya mengatakan tidak ada perbedaan nyata dalam kebijakan Israel terhadap Palestina," terangnya.
Namun, sebagian orang di Gaza urusan politik Israel tidak terpikir oleh mereka.
"Saya tidak mengikuti berita dari Israel," kata Latifa al-Nafar (36 tahun), seorang ibu rumah tangga.
"Saya tidak peduli siapa yang akan berkuasa. Saya tidak tahu Bennett atau Lapid. Yang saya pedulikan adalah hidup saya di sini," ungkapnya yang hidup dalam lingkungan yang tidak memadahi akibat blokade Israel terhadap wilayah Gaza.
"Kami telah hidup di bawah pengepungan selama bertahun-tahun. Hidup kami menjadi sulit. Bukan hanya Netanyahu yang memberlakukan pengepungan, tetapi pemerintah Israel berturut-turut yang memberlakukan kebijakan yang sama pada kami di Gaza," ungkapnya.
"Kami ingin hidup dalam kondisi yang lebih baik. Saya tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini...Yang saya pedulikan adalah kami bisa hidup dalam damai dan dalam kondisi yang lebih baik," tandasnya.
Blokade Jalur Gaza yang meliputi darat, udara, dan laut diberlakukan oleh Israel sejak tahun 2007, setelah Hamas menguasai Jalur Gaza.
Bukan hanya warga Gaza yang menganut pandangan tersebut. Di Ramallah Tepi Barat, kelegaan atas upaya penggulingan Netanyahu, tetapi tidak ada keyakinan bahwa segala sesuatunya di Palestina akan berubah lebih baik secara substansial.
"Pemerintah telah bergerak dari ekstrem kanan ke kanan yang lebih ekstrem lagi," kata Jamal al-Khatib (62 tahun), seorang profesor di Universitas Al-Quds di Ramallah.
Al-Khatib berpendapat bahwa salah satu tokoh dalam koalisi baru Israel ada Naftali Bennett yang memiliki pandangan nasionalis kanan-keras.
"Tetapi, ada kegembiraan dalam keluarnya Netanyahu dari pemerintahan, dan inilah yang dianggap Palestina sebagai bagian dari kemenangan yang dicapai oleh perlawanan (terhadap pendudukan)," ujar Al-Khatib.
Ia menerangkan bahwa pemerintah Israel tidak dapat dipastikan untuk mengubah nasib dari Palestina.
"Kami tidak mengandalkan pemerintah Israel, karena sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah dua sisi mata uang yang sama," ungkapnya.
"Hanya kita yang bisa mengubah kebijakan Israel dengan persatuan dan ketabahan kita," tandasnya.
Abu Assad Mutair (55 tahun), seorang penduduk kamp pengungsi Qalandia, meluapkan sentimennya, menunjukkan bahwa perang baru-baru ini di Gaza, jauh dari menguntungkan Netanyahu. Langkah perang itu yang telah berkontribusi untuk kehancurannya.
"Saya sangat senang Netanyahu pergi, dan yang membuat saya lebih bahagia adalah perang di Gaza dan perlawanan menjatuhkan Netanyahu," ucapnya.
Namun, dia menambahkan, "Pemukiman Yahudi akan terus berlanjut, bersamaan dengan penyitaan rumah dan tanah. Dan karena masyarakat internasional tidak akan menekan pemerintah Israel, tidak ada yang akan berubah."
(Sumber: Guardian/Kompas)