Ulah Makhluk Tanpa Nalar, Itu Buat Elektabilitas Anies Baswedan Meroket
ADA yang diolok-olok dengan olokan tidak seberapa seseorang bisa tumbang. Namanya jadi tercemar, dan seolah tidak layak dibicarakan. Tumbangnya tentu karena olokan yang punya dasar, meski olok-olok itu tak layak diterimanya.
Tapi ada pula yang diolok-olok dengan kasar, diserang personalnya dan bahkan diperlakukan rasis, diluar batas kepatutan, tapi tidak juga tumbang. Sepertinya olok-olok rasisme yang menyasar personalnya itu tidak berpengaruh.
Rasisme itu mestinya tidak diberi tempat dan ruang, tidak boleh ada celah untuk dijadikan bahan menghabisi lawan. Namun jika yang disasar itu kokoh pribadinya, maka menumbangkan pihak yang disasarnya itu jadi sia-sia.
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, seperti dijadikan samsak hidup untuk digebuki dengan olok-olok, umpatan dan perlakuan rasis atasnya. Samsak hidup itu tidak tumbang meski digebuki dengan keras. Ia tetap berdiri kokoh, tidak berpengaruh. Justru para pihak yang menggebuk itu kelelahan hilang kesadaran.
Maka muncul narasi tidak beradab dan fitnah keji, yang tetap Anies tak hiraukan. Anies pede dengan langkahnya, dan sadar tidak ada kesalahan dibuatnya. Jadi meskipun mendapat serangan bertubi-tubi di medsos, Anies tidak perlu repot-tepot merespons. Mungkin pikirnya, ia tak sudi turun kasta seperti mereka yang menghujat.
Dengan tidak direspons hujatan itu, mestinya wajar jika lalu hujatan-hujatan itu berhenti. Tidak efektif. Tapi yang ada justru mereka makin menjadi, seperti bensin tersambar api.
Bensin itu tentu makna metafora dari mereka yang memang bekerja untuk “menggarap” Anies. Mereka itu adalah makhluk berbayar, yang bisa diperintah bicara apa saja, biasa dijuluki dengan manusia tanpa nalar.
Lalu siapa yang membayar manusia tanpa nalar itu, pastilah mereka yang merasa gerah pada goodbener Anies Baswedan, karena langkahnya terhenti, tidak dapat melakukan kebebasan semaunya mengeruk keuntungan, meski dengan melanggar peraturan yang ada. Munculnya Anies menjadikan mereka tidak bisa sebebas dulu lagi.
BuzzerRp Itu Mubazir
Tidak itu saja, tapi mereka yang merasa bahwa Anies Baswedan bisa jadi pesaing utama dalam Pilpres di 2024. Maka segala cara dilakukan agar Anies bisa tumbang. Maka memakai jasa makhluk upahan tanpa nalar, biasa juga disebut buzzerRp, itu jadi pilihan.
Meski tak tampak efektif kerja para buzzerRp itu, tetap saja dipakai untuk membuat ruang perbincangan jadi bising, penuh aroma tak sedap. Pikirnya, jika upaya terus-menerus disampaikan pada publik, meski itu fitnah, siapa tahu ada yang nyantol mempercayai.
Lagian uang untuk para buzzerRp yang disediakan itu dananya masih tersisa, itu memang proyek untuk menghabisi Anies. Maka jumlah buzzerRp tampak muncul beranak pinak. Meski ada sih satu dua orang yang memilih jalan tobat, tapi yang kelaparan dan memilih hidup tanpa nalar menjadi makin banyak.
Kemiskinan mampu buat manusia tanpa nalar makin banyak, layaknya ternak bebek. Urusan perut menyediakan mereka lapangan kerja, meski harus dengan memakan bangkai saudaranya sendiri. Itu bukannya tidak mereka sadari. Pada saatnya mereka itu akan bercerita sendiri penuh penyesalan.
Kenapa Anies Baswedan tidak tumbang meski dikeroyok ramai-ramai, itu pertanyaan yang sering tidak terjawab. Meski ada yang menjawab dengan jawaban yang bisa dikata mendekati benar. Bahwa ia tidak melakukan kesalahan dalam tugas-tugasnya. Ia on the track. Bisa juga karena kualitas emosinya yang terjaga dengan baik.
Maka serangan-serangan padanya tidak mampu menumbangkannya. Bahkan serangan-serangan itu terkesan mengada-ada dan dinarasikan berulang-ulang, seperti tak mampu menemukan narasi lainnya. Menggelikan.
Menyerang Anies dengan narasi jahat terbukti tidak menumbangkannya. Justru yang terjadi sebaliknya, elektabilitas Anies makin moncer. Anies Baswedan dalam hampir semua lembaga survei selalu ada di posisi 2 dan 3. Bahkan beberapa lembaga survei menempatkannya di posisi 1.
Artinya, memakai jasa buzzerRp itu cara mubazir. Tidak ada hasil dari pekerjaannya. Hanya buat bising saja, lain tidak. Malah justru Anies Baswedan yang dapat berkahnya.
Oleh: Ady Amar
(Kolumnis, tinggal di Surabaya)