AIDIT, PANCASILA, DAN SEJARAH YANG BERULANG
Kemaren ada yang bilang, tidak mungkin PKI bisa bangkit lagi? Dari mana ceritanya? Kalau terorisme malah mungkin tambah banyak. Seiring dengan banyaknya orang islam yang radikal. Jadi, omong kosong PKI bakal ada lagi apalagi menguasai negeri ini. Itu hal yang mustahil dan hil yang mustahal.
Begitulah, dikatakannya berapi-api.
Benarkah demikian?
Hemmmmm, kalo kita balik lagi ke sejarah, sejak dulu pemikiran seperti itu sudah ada. Sejak jaman pemberontakan PKI 65. Apalagi pada masa itu pergerakan mereka halus dan belum ada medsos sehingga tak gampang diendus. Bahkan ketika dedengkot PKI yang bernama DN Aidit menulis buku tentang Membela Pancasila (1964) nggak ada yang curiga kalau itu bagian dari kamuflase taktik pemberontakan mereka.
Apa sih yang membuat kita yakin bahwa kebangkitan PKI itu pasti ada. Meski pergerakannya tak kasat mata. Tapi sebenarnya tanda tandanya sangat nyata! Artinya, secara teoritis, dengan menukil banyak catatan sejarah, kemungkinan itu jelas bukan hal yang mustahil.
Bagaimana bisa tahu? Ya jawabannya sekali lagi kembali kepada catatan sejarah. Sejarah telah mencatat pola-pola yang mereka lakukan selalu sama. Itulah sebabnya ada yang percaya bahwa sejarah itu pasti berulang. Pola-polanya bisa dibaca.
Setidaknya jika berkaca pada beberapa kali pemberontakan PKI yang sudah pernah terjadi di Indonesia, polanya memakai taktik yang sama.
Pertama, membunuh umat Islam. Pada masa dulu pembunuhan itu dilakukan secara fisik. Mereka mendatangi pesantren dan secara membabi buta membunuh para santri dan menghabisi nyawa para kyai dengan sangat keji. Cerita cerita tentang kekejaman mereka terhadap ulama dan santri sering kita dengar kalau kita datang ke desa-desa menemui orang-orang tua yang menjadi saksi mata dan saksi sejarah. Banyak kiai atau santri tiba-tiba lenyap begitu saja dari pondok atau masjidnya. Apakah pola ini juga terjadi saat ini? Entahlah!
Ada yang bilang, gerakan itu sudah mulai ada. Tapi bukan dengan pembunuhan nyawa. Yang dilakukan adalah pembunuhan karakter. Terutama ke kalangan umat Islam. Baik kalangan santri maupun kyai. Banyak pesantren difitnah sebagai sarang teroris. Banyak kyai dan ulama yang dikriminalisasi dengan banyak cara. Pokoknya selalu ada alasan dan cara untuk menjatuhkan kredibilitas mereka dengan keislamannya.
Kedua, menampilkan simbol-simbol PKI secara terang-terangan. Pada jaman dulu, gambar Palu Arit dilukis terang-terangan di mana-mana. Di tembok-tembok jalanan, di bendera-bendera, selebaran, dan buku-buku. Semua itu dilakukan untuk menunjukkan eksistensi bahwa mereka itu ada dan kuat. Bagaimana dengan sekarang? Entahlah!
Yang jelas, dengan mudah sekarang ini kita bisa mendapatkan buku Aku Bangga Jadi Anak PKI, yang mengklaim saat ini punya sekitar lima juta simpatisan sesama anak PKI. Beberapa waktu lalu di Jakarta ditangkap orang-orang yang lalu lalang di jalanan dengan kaos bergambar Palu Arit. Bahkan ada putri indonesia yang kedapatan memakai kaos berlogo Palu Arit dan diunggah di facebook. Ada pula isu di sebuah kota bahkan ada pertemuan besar para kader dan simpatisan berlogo palu arit itu. Pergerakan pergerakan kecil seperti itu nyaris tak terbaca gelagatnya. Apakah ini juga sebuah pola? Entahlah...
Ketiga, memasukkan kadernya di kalangan angkatan bersenjata atau militer. Pada masa itu PKI berhasil menguasai Angkatan Darat. Melalui orang-orangnya di corp itu, kita mengenalnya dengan sebutan Cakra Birawa, mereka dengan mudah menguasai ring satu istana. Dengan mudah pula mereka bisa membunuh Jendral-Jendral yang setia pada Pancasila lalu membuang jasadnya di sumur Lubang Buaya. Menguasai militer atau istana adalah salah satu strategi terukur yang bisa membuat tujuan pemberontakan yang mereka cita-citakan cepat tercapai. Apakah itu juga terjadi sekarang? Entahlah!
Semoga aja itu tidak terjadi. Tapi banyak orang yang mulai mengira bahwa model-model kriminalisasi ulama yang dilakukan oleh aparat hukum bersenjata yang belakangan ini terjadi ditafsirkan sebagai pertanda bahwa apa yang terjadi pada masa pasukan Cakra Birawa dulu itu seperti terulang kembali saat ini. Ulama dan santri mulai diincar secara membabi buta dengan kekuatan senjata. Bisa jadi itu terjadi pula hingga ring satu istana. Terkooptasi oleh tangan-tangan ideologi komunis yang sudah berhasil menyusup ke pusat kekuasaan. Semoga perkiraan orang-orang tua yang nongkrong di warung kopi di ujung desa ini tidak sampai terjadi. Apa jadinya kalau benar-benar ada? Ngeri membayangkannya.
Keempat, menciptakan kegaduhan (chaos) secara massif lewat tiga pola: Naikkan harga-harga (atau tinggikan pajaknya), hilangkan lapangan kerja (perbanyak pengangguran), tinggikan angka kriminalitas (perkelahian dan konflik antar golongan dipertajam). Mereka adalah kader kader yang jago agitasi. Kader kadernya dididik untuk menjadi provokator yang hebat. Begitu kegaduhan sosial terjadi, masyarakat sudah chaos, itulah saat yang tepat untuk memprovokasi massa bergerak mewujudkan ide komunisme. Nah apakah suasana seperti itu juga terjadi? Entahlah! Mari kita refleksikan bersama. Agar kita bisa selalu eling lan waspodo.
Ah, belajar sejarah memang bisa bikin kita jadi getir. Bikin kita ketar-ketir. Meski pada saat yang sama bisa membuat kita menjadi lebih cerdas, lebih wisdom, lebih prediktabel. Belajar sejarah membuat kita jadi lebih peka dan lebih waspada dengan Tanda-tanda.
Inilah sebagian dari hasil renungan malam. Semoga tak ada lagi kebangkitan PKI di negeri yang religius ini. Semoga negeriku selalu aman dan damai. Mari berdoa!
(By Among Kurnia Ebo)