[PORTAL-ISLAM.ID] Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden melakukan perjalanan ke luar negeri pertamanya. Biden meninggalkan Gedung Putih di Washington sejak Rabu (9/6/2021) dini hari.
Presiden berusia 78 tahun itu menuju Inggris untuk KTT G7 di resor tepi laut Cornish dari 11 hingga 13 Juni. Setelahnya Biden akan mengunjungi Ratu Elizabeth II di Kastil Windsor.
Ia pun akan terbang ke Brussel untuk pertemuan puncak dengan aliansi militer NATO dan Uni Eropa, termasuk bertemu Presiden Turki Erdogan. Terakhir ia ke Jenewa, Swiss, lokasi pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin 16 Juni mendatang.
Meski masih dalam kondisi pandemi, Biden melakukan maraton diplomatiknya. Perjalanan kali ini akan memperlihatkan bahwa AS sudah kembali seperti sediakala dan ingin merangkul sekutunya melawan pengaruh China dan Rusia.
"Ini adalah pertanyaan yang menentukan di zaman kita," kata Biden ditulis The Washington Post menjelang perjalanannya.
"Akankah aliansi ... membuktikan kapasitas mereka melawan ancaman dan musuh zaman modern? Saya yakin jawabannya adalah ya. Dan minggu ini di Eropa, kita memiliki kesempatan untuk membuktikannya," ujarnya.
Perjalanan Biden menandai eksistensi AS di global setelah kebijakan "isolasi" Presiden Donald Trump. Di masa Trump, AS bersitegang termasuk dengan sekutu karena kebijakan "America First".
Dari semua pertemuan yang dilakukan, kopi darat dengan Erdogan dan Putin menjadi sorotan.
Biden sebelumnya membuat jengkel Erdogan dengan menyoroti situasi hak asasi manusia (HAM) Turki.
Ini terkait pengakuan mantan wakil Barrack Obama itu pada tudingan genosida Kekaisaran Ottoman terhadap orang-orang Armenia. Ia mendeklarasikan bahwa orang-orang Armenia telah dibantai di Kekaisaran Muslim Ottoman tahun 1915.
Hal ini membuat berang pemerintah Erdogan. Ia merespon melalui sang juru bicara sekaligus penasihat Ibrahim Kalin.
"Akan ada reaksi dalam berbagai bentuk dan jenis, dalam beberapa hari dan bulan mendatang," kata Erdogan.
Ia tak merinci apa yang akan dilakukan Turki. Namun sebagian menilai negeri itu akan membatasi akses AS ke pangkalan udara Incirlik di Turki Selatan, yang menjadi basis koalisi internasional memerangi ISIS di Suriah dan Irak.
Erdogan bahkan sempat memperingatkan jika AS berisiko kehilangan teman yang berharga. Turki sendiri memainkan peran strategis yang vital bagi AS dan sekutu NATO.
Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengatakan kepada Kongres pada bahwa Turki sering tidak bertindak sebagai sekutu NATO. Tetapi Washington memiliki "kepentingan untuk mencoba menjaga Turki tetap berlabuh ke Barat".
Secara ekonomi, mengutip Anadolu, Turki sebenarnya menargetkan kenaikan volume perdagangan dengan AS sebesar US$ 100 miliar. Turki mencatat ekonomi tumbuh 1,8% di 2020, tertinggi kedua setelah China di kelompok G20.
Sementara itu, agenda pembicaraan dengan Putin lebih terkait stabilitas hubungan kedua negara. Gedung Putih ingin memfokuskan diri pada perjanjian senjata nuklir New START dan membutuhkan Kremlin untuk kemajuan pembicaraan dengan Iran.
Tetapi daftar ketegangan antara kedua jauh lebih panjang. Di mana Biden menyalahkan Rusia atas sejumlah hal.
Di antaranya serangan siber besar-besaran SolarWinds, campur tangan pemilu AS dan menyembunyikan penjahat di balik serangan ransomware terhadap pipa bahan bakar penting Kolonial. Biden juga menekan Putin tentang konflik Moskow di perbatasan Ukraina dengan Kiev, pemenjaraan lawan politiknya Alexei Navalny.
Terakhir, AS mengecam Putin atas dukungannya untuk Alexander Lukashenko, diktator Belarusia. Lukashenko membuat gaduh baru-baru ini saat memaksa sebuah pesawat Ryanair mendarat di Minsk dengan ancaman bom, untuk menangkap lawan politiknya dalam penerbangan itu.
Tetapi ada tanda-tanda kedua belah pihak berusaha untuk menenangkan satu sama lain. Gedung Putih mengumumkan tidak akan memberikan sanksi kepada perusahaan utama yang terlibat dalam proyek pipa gas Nord Stream 2.
Ini merupakan proyek yang kontroversial antara Rusia dan Jerman. Pemerintahan Biden dikatakan ingin menghindari pertentangan dengan Berlin. Keputusan itu membantu Moskow, membersihkan hambatan utama bagi proyek pipa itu agar terus berjalan.
Dari data BPS AS, neraca perdagangan kedua negara terus mengalami deficit sejak 2014 hingga 2021. Pada Januari 2021, defisit neraca dagang ini sebesar US$1.575 juta.
(Sumber: CNBC)