"Saya Benar-Benar Marah Atas Tuntutan Jaksa Terhadap Habib Rizieq Shihab"
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. (Advokat)
Luar biasa, kezaliman yang begitu telanjang dipertontonkan oleh Jaksa dalam kasus RS UMMI terhadap Habib Muhammad Rizieq Shihab. Bagaimana tidak, seorang yang mengabarkan dirinya dalam kondisi baik-baik saja, dituding menyebar kebohongan yang menyebabkan keonaran, lalu dituntut hukuman 6 tahun penjara.
Dikalangan umum dalam pergaulan, sudah menjadi umum dan tradisi biasa seseorang mengabarkan kondisi diri baik-baik saja meskipun sedang dalam kondisi kurang sehat, dengan tujuan agar tidak menghilangkan rasa syukur atas nikmat Allah SWT lainnya yang banyak, juga agar tidak menimbulkan kekhawatiran pada orang yang bertanya. Ini adalah bahasa pergaulan yang menjaga etika dan perasaan, sambil menyembunyikan hal-hal yang cukup diketahui diri sendiri dan tak selalu orang lain mengetahuinya.
Dalam tradisi orang Jawa, misalnya. Saat ditanya sudah makan atau belum, pasti dijawab sudah walaupun perut terasa keroncongan. Jawaban ini secara hakekat tidak berbohong, karena faktanya memang sudah makan walaupun entah sudah berapa lama berlalu.
Biasanya, menjawab sudah makan itu bertujuan agar tidak merepotkan yang bertanya. Kadangkala, yang bertanya juga tak selalu ingin memberikan Jamuan makan. Kadang pula, yang menawarkan makan benar-benar ingin menjamu, tetapi kondisi kadang sedang tidak ada makanan. Sehingga, jika dijawab belum makan dikhawatirkan akan merepotkan yang menanyakan, karena harus mencari hidangan untuk menyiapkan makanan walaupun dalam kondisi yang sulit untuk menyiapkannya.
Begitu pula, soal hasil swab. Ditanya soal kesehatan dan dijawab dengan jawaban sehat dan baik-baik saja, bukanlah suatu kejahatan. Bahkan, ada orang yang terbaring sakit saat dikunjungi tetangganya, bagaimana kondisinya, lalu si sakit juga menjawab Alhamdulillah sehat, juga bukan kejahatan meskipun faktanya terbaring sakit.
Lalu, apa dasarnya Jaksa menuntut Habib Rizieq Shihab dengan tuntutan 6 tahun penjara dalam kasus hasil swab RS UMMI? Lebai sekali jaksa, yang dalam tuntutannya menyatakan bahwa Habib Rizieq Shihab terbukti secara sah dan meyakinkan menyebarkan berita bohong atas kondisi kesehatannya?
Jaksa menjerat Habib Rizieq Shihab dengan Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1. Pasal ini, adalah pasal karet yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi sejumlah ulama dan aktivis lainnya.
Baiklah, anggap saja Habib Rizieq Shihab bersalah, penjahat, harus dipenjara. Maka, saya juga minta Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartanto dibui, tuntut juga 6 tahun penjara, karena dia juga menyebarkan berita bohong atas kondisi kesehatannya yang baik padahal positif Covid-19. Hartanto baru ketahuan positif covid setelah dirinya menjadi donor plasma bagi pasien covid.
Presiden Joko Widodo tak dapat dihitung lagi, berapa kali mengedarkan berita bohong yang menimbun keonaran. Bahkan, kebohongan Presiden Joko Widodo menimbulkan dampak menambah utang yang menggunung. Dari soal data uang Rp 11.000 triliun di kantongnya, hingga kebohongan tak akan utang. Semestinya, Presiden Joko Widodo juga dibui.
Atau, yang paling mutakhir adalah Menag dan DPR yang membatalkan haji. Padahal, Dubes Saudi Essam Bin Ahmed Abid Althaqafi memberikan klarifikasi bahwa belum ada keputusan apapun soal itu, baik untuk Indonesia maupun jamaah haji negara lainnya.
Semestinya, Yaqut Cholil, Sumi Dasco, Ace Hasan Sadzily, dan semua yang terlibat pembatalan haji yang menimbulkan keonaran ditangkap dan dipenjara. Mereka semua, juga wajib diadili dengan ketentuan pasal Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Sakit sekali menjadi warga negara di Republik ini. Hukum dijalankan dengan asas suka-suka penguasa. Tak ada keadilan, yang ada hanyalah praktik kezaliman yang dipertontonkan secara telanjang. []