Pembangkangan Petugas Partai yang Mulai Terkuak
Oleh: Ady Amar*
Pemihakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, itu memang belum secara terang-terangan, meski tanda-tandanya sudah bisa dilihat. Pemihakan pada Ganjar Pranowo, itu tentunya untuk Pilpres di 2024, maju sebagai Capres. Artinya, Ganjar diharap sebagai penggantinya.
Meski Presiden Jokowi belum terang-terangan menyebut dukungannya itu, tapi aromanya sudah bisa dicium dengan sempurna. Ia lebih memilih mendatangi Ganjar di Jawa Tengah, saat Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, mendapat gelar Profesor Kehormatan dari Universitas Pertahanan RI, Jumat (11 Juni 2021).
Presiden Jokowi tampak “melawan” fatsun atau etika yang semestinya dipegangnya dengan kukuh. Mungkin sudah jengah dan ingin mencopot pakaian yang dikenakannya, yang selalu menempel sebagai petugas partai. Tapi pakaian itu justru yang menjadikannya sebagai Presiden, bahkan dua periode.
Itu yang mestinya disadari Jokowi. Itu semacam “perjanjian” atau kesepakatan yang mesti dipegangnya. Tidak patut dilanggar apalagi dikhianati. Pun Ganjar Pranowo, itu pun petugas partai. Ia maju sebagai Calon Gubernur Jawa Tengah, dan terpilih bahkan dua periode sebagai Gubernur, juga atas dukungan PDI-P.
Siapa pun boleh tinggi jabatan politiknya, tapi jika ia berkhidmat atau didukung PDI-P, maka ia adalah petugas partai. Sebutan yang memang kurang sedap didengar telinga, tapi ya itulah kenyataan yang dihadirkan PDI-P dan disetujui mereka yang akan maju lewat jalur PDI-P.
Konsekuensi disebut petugas partai, itu yang menjadikan Jokowi menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan lalu menjadi Presiden 2 periode. Begitu pula dengan Ganjar Pranowo.
Bahkan Ganjar Pranowo itu kader riil PDI-P. Sejak muda sudah berkhidmat pada PDI-P. Sedang Jokowi hanya “bernaung” saja di PDI-P, bukan sebenar-benar kader. Istilahnya, hanya ngekos di PDI-P. Tapi mereka semua disebut dengan petugas partai.
Jika disebut petugas partai, maka konsekuensi lanjutannya adalah semua langkah politiknya adalah atas arahan partai. Mestinya itu mereka sadari. Tidak saat akan menjabat menerima, tapi setelah menjabat dan bahkan mendekati akhir jabatan, maka sikapnya membangkang melawan partai. Itu su’ul adab namanya.
Dalam politik jangan bicara adab, fatsun atau apapun namanya. Itu hanya berlaku pada saat itu mesti dilakukannya, tapi pada syahwat politik memuncak pada hal dan saat yang lain, maka hal-hal itu tidak berlaku. Itu hal lumrah, meski tidak patut jadi contoh yang baik.
Ganjar Pranowo akan purna tugas sebagai Gubernur Jawa Tengah, 2023. Maka jika ia ingin tetap lanjut jabatan selanjutnya sebagai presiden, misal. Maka ia persiapkan semuanya, bahkan ia persiapkan mentalnya untuk berani mencopot pakaian sebagai petugas partai.
Jelas-jelas PDI-P lewat Wakil Sekjen, Utut Hadianto, mengingatkan, jika tidak ikut aturan partai, maka silahkan “angkat kaki” alias cari partai lain untuk maju sebagai Capres. Apa yang disampaikan Utut, itu jeweran kesekian kali pada Ganjar. Setelah sebelumnya Megawati yang meski tidak menyebut nama, mengatakan kata Out, jika tidak ikuti aturan partai.
Butuh keberanian pada Ganjar Pranowo untuk memuaskan syahwat kekuasaannya itu. Beranikah ia angkat kaki alias out dari partai yang membesarkannya. Tentu banyak variabel yang bisa mendorong untuk ia (Ganjar) maju terus, itu artinya memilih out dari PDI-P. Begitu pula dengan sikap untuk tetap memilih berada di PDI-P, tentu Ganjar punya hitungan-hitungannya sendiri. Bukan masalah takut, tapi lebih pada apakah jika ia out lalu ia dapatkan tempat yang diinginkannya itu.
Membaca Sikap Presiden Jokowi
Cara Presiden Jokowi mengirimkan “simbol” lebih memilih ke Jawa Tengah ketimbang menghadiri gelar Profesor Kehormatan. Itu artinya, lebih memilih Ganjar Pranowo ketimbang pasangan Prabowo-Puan.
Simbol yang dikirim itu, bisa ditafsir sebagai pemihakan Jokowi pada Ganjar. Simbol yang agak terang-terangan, itu bisa disebut tidak lagi sebagai pesan tersirat. Tidak mustahil pada saatnya, Jokowi yang sebagai petugas partai, itu pun akan menyebut nama Ganjar Pranowo sebagai pilihannya.
Jika itu disampaikannya pada publik sebelum clear PDI-P mendukung Ganjar Pranowo, maka itu pertanda bahwa Presiden Jokowi sudah benar-benar menanggalkan pakaiannya sebagai petugas partai.
Tanda-tanda pada saatnya “meninggalkan” PDI-P, itu tersirat memang sedikit tampak saat Presiden Jokowi bicara pada para relawan, agar tenang saja bahwa pada saatnya ia (Jokowi) akan bicara tentang sikapnya. Dan itu tentang siapa yang akan didukungnya. Ojok kesusu (jangan terburu-buru), ujar Jokowi menenangkan relawan.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi, itu memang aneh saat relawan menjadi pihak yang diajak bicara tentang kepemimpinan nasional. Memangnya yang non relawan itu bukan rakyatnya juga. Mestinya relawan itu bubar saat presiden itu terpilih. Bukan dipelihara sepanjang dia menjabat, dan digunakan sebagai pembelanya di luar parleman. Ini yang menjadikan keterbelahan di tengah masyarakat.
Pertanyaan lanjutannya, untuk apa dan memiliki faedah apa pilihan Presiden Jokowi dengan “melawan” partai yang memberikan banyak kesempatan padanya, bahkan sampai menjadi presiden dua periode. Maka tidak ada yang bisa menjawab dengan tepat pertanyaan atas pilihan Jokowi itu. Tapi yang pasti, bahwa tidak ada hal yang diperhitungkan kecuali untuk kepentingannya pasca jabatannya berakhir.
Maka pertanyaan berikutnya, adakah kekuatan luar yang super kuat yang mendorong Presiden Jokowi harus bersikap memilih Ganjar Pranowo, itu pun tidak ada yang bisa menjawab dengan tepat. Tapi berbagai kepentingan yang menghendaki Jokowi tiga periode, yang suaranya sudah mulai redup karena tantangan yang kuat tidak menghendaki, itu bisa dilanjut oleh Ganjar Pranowo. Apakah itu jawabannya, sekali lagi tidak ada yang tahu persis soal itu. Meski banyak yang sepakat melihatnya demikian. (*)
*Ady Amar, pemerhati masalah-masalah sosial
(Sumber: Indonesiainside)