YANG TERSISA TINGGAL OLOK-OLOK
Oleh: Fahd Pahdepie (Jubir UAH)
Mungkin Anda mengikuti polemik seputar Ustadz Adi Hidayat (UAH) dan beberapa orang yang awalnya mempermasalahkan donasi yang digalangnya untuk Palestina. Di awal, bahkan mereka melakukan framing yang menggiring opini jahat dan provokatif. Ketika ditanggapi, diberi penjelasan, bukannya mereda, justru mereka semakin menjadi. Menyerang balik dan menuduh-nuduh seolah yang salah adalah UAH. Seiring waktu berjalan, seiring setiap tuduhan terbantahkan, kini yang tersisa tinggal olok-olok belaka.
Dilematis memang. Jika mereka tak ditanggapi, fitnah dan pembelahan opini di ruang publik kian menjadi-jadi. Seandainya UAH diam saja dan mengabaikannya, seolah benar bahwa ada ketidaktransparanan, ada kecurangan, bahkan apa yang mereka tuduhkan dengan kalimat seolah bertanya “nilep berapa?” saja banyak yang mempercayainya.
Sebaliknya, seperti saat ini, ketika semua itu ditanggapi, serangan balik bertubi-tubi seolah tak berhenti. Setiap dijelaskan, terus ngeyel dan tak terima. Setiap hal dicari-cari kesalahannya. Bahkan mengatakan “Kami sebagai bagian dari rakyat Indonesia, juga punya hak mempertanyakannya!” Sambil terus mencari-cari kesalahan UAH, bahkan yang tak ada hubungannya dengan peristiwa ini, terus-menerus nyinyir. Yang tersisa tinggal olok-olok belaka.
Lalu muncullah narasi soal pergi ke jalur hukum. Media yang meramaikannya. Mulanya yang dipermasalahkan UAH adalah video dan akun-akun Youtube yang terang-benderang menebar fitnah. Tapi media memang senang menghubung-hubungkan setiap peristiwa yang berlawanan, apalagi kalau aktor-aktornya jelas. Maka kelompok yang nyinyir ini pun bereaksi, “Jangan baper dong! Gitu aja ke jalur hukum. Kalau ditanya kan tinggal dibuka saja laporannya secara transparan.” Tentu olok-oloknya terus berlangsung.
Saat sejumlah tokoh, organisasi, bahkan partai politik ikut mendukung UAH. Nyinyir dan olok-olok itu pun tak berhenti. Meski sudah disalurkan via Baznas dan Lazis Muhammadiyah, mereka mempersoalkan tanggal dan waktu, lalu macam-macam lagi. Saat ada tokoh partai ikut menyumbang Rp 3,7 miliar melalui UAH karena dasar percaya, di luar yang Rp30,8 miliar itu, mereka bilang, “Oh jadi ini politik? Jadi UAH petugas partai? Buzzer politik?” Aneh. Entah apa yang mereka pikirkan.
Sampai hari ini, UAH tak pernah menyebutkan satupun nama. Pihak UAH tak pernah menyebut siapa yang akan dilaporkan karena fitnah atau pencemaran nama baik. Tak pernah mengumumkan kapan akan membuat laporan. Kepada media, saya selalu katakan, “Semua masih dikaji. Kami tak ingin terburu-buru. Tak ingin gegabah. Tenang dan santai saja.” Tapi semua itu tetap ditanggapi sinis, “Jadi takut? Takut kebongkar? Takut melaporkan kami?” Tentu saja olok-oloknya jalan terus.
Ya, yang tersisa tinggal olok-olok. Penjelasan apapun tak berguna. Apapun yang kita pilih dan lakukan tak akan membuat yang membenci dan tak menyukai UAH senang apalagi puas. Bahkan seandainya nanti kasus hukum berjalan, mungkin saja ada olok-olok yang lain, “Jadi ulama memenjarakan orang?” Atau semacamnya.
Beberapa hari ini saya berdiskusi dan bertemu intens dengan UAH. Tak ada sedikitpun kecemasan di wajahnya, ia tetap tenang dan menjalani setiap aktivitas seperti biasa. Semua proses dilakukan dengan baik, audit khusus bahkan dilakukan lagi, katanya, “Tak boleh ada satu rupiah pun yang tak dipertanggungjawabkan.”
Beberapa hari lalu, auditor eksternal yang melakukan proses audit khusus untuk program itu bertanya, “Pak ini ada dana setoran awal Rp 50 juta di rekening ini, apakah termasuk program donasi?” Katanya. UAH hanya tersenyum. Jawabnya, “Rekening itu baru dibuat, dibuka khusus untuk program ini. Saya mengajak orang lain berdonasi, tentu saya yang harus lebih dulu. Itu bukan setoran awal.” Katanya. Saya tertegun mendengarnya. Ya Allah, seandainya yang menuduh ‘nilep’ itu tahu.
Namun, bahkan barangkali cerita ini pun akan menjadi olok-olok bagi mereka yang membenci. Bagi mereka yang tak suka. Tapi saya yakin UAH tak terganggu dengan semua ini. Baginya, yang terpenting semua donasi sudah tersalurkan dengan baik ke MUI, INH, Baznas RI, Lazismu dan lainnya. Audit sudah dilakukan dan akan segera dipertanggungjawabkan kepada para donatur, para jamaah yang ikut menyumbang. Luar biasanya, sampai hari ini, tak ada satupun dari donatur dan jamaah itu yang mempersoalkan semua ini. Yang ribut hanya orang lain, yang terus mengolok-olok itu.
Media terus bertanya, “Apa langkah berikutnya?” Publik tak sabar menunggu, “Apa lagi langkahnya setelah ini?” Saya perlu jawab, semua itu akan berpulang pada UAH sendiri. Kita tunggu saja. Saya yakin beliau akan memutuskan langkah yang paling tepat dan bijak. Saya hanya sedih melihat semua olok-olok yang tertuju padanya, meski ia merasa baik-baik saja. Tugas saya adalah mensupportnya, sejauh yang saya bisa.
Barangkali sejak awal memang ini tujuannya. Nyinyir dan olok-olok itu. Mungkin memang orang-orang yang tak suka dan membenci itu tak peduli apapun penjelasannya, apapun langkah yang akan diambil UAH, apapun argumennya, sebab yang terpenting adalah marwah seorang ulama jatuh. Publik menghina dan mencibirnya. Yang tersisa hanya olok-olok belaka.
Semoga kita semua sudah cerdas. Betapa menyedihkan ruang publik yang dibangun dengan olok-olok ini. Betapa mengkhawatirkan demokrasi yang disusun dari narasi-narasi benci yang membelah-belah. Sekarang kita tinggal memilih, mau ikut yang mana? Kita berjuang dengan segala rasa hormat untuk mempertahankan kehormatan itu sendiri. Sementara yang tersisa dari yang lain hanya olok-olok belaka.
Saya kira, ini bukan semata tentang UAH, ini tentang situasi bangsa hari ini. Mari bergeser dari ruang olok-olok itu. Mungkin dengan meninggalkan mereka, dengan membuat mereka kesepian, tanpa komentar, tanpa pengikut, maka olok-olok yang mereka lontarkan itu hanya akan didengar oleh telinga mereka sendiri.
Tabik!
[fb, 06/06/2021]