Menyoal Kembali Perzinahan dan Kumpul Kebo dalam RKUHP
Oleh: Abdul Wahab Ahmad, Ketua Prodi Hukum Pidana Islam UIN KHAS (Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember)
Perzinahan dan kumpul kebo menjadi delik aduan lagi di RKUHP yang telah direvisi Tim Ahli Pemerintah (delik aduan artinya harus ada yang melaporkan terlebih dahulu, baru diproses aparat hukum -red).
RUU KUHP atau RKUHP = Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sedang digodok pemerintah dan DPR.
"Dan dirumuskan sebagai delik aduan. Dan dibatasi hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampaknya yaitu suami, istri, orang tua, atau anaknya," kata Marcus Priyo Gunarto, Anggota Tim Ahli penyusun RUU KUHP.
Kelihatan bahwa tarik menariknya sangat alot. Tidak mudah mengubah nalar hukum warisan Belanda yang sudah puluhan tahun dipakai. Bila memakai nalar hukum asli Indonesia, perzinahan dan kumpul kebo harusnya menjadi pidana umum (langsung kena pidana dan ditindak aparat, tanpa menunggu ada yang melaporkan -red) seperti diusulkan dalam RKUHP versi sebelumnya. Di masa lalu yang melakukan perbuatan seperti itu diarak keliling kampung, ini membuktikan bahwa perbuatan semacam itu bertentangan dengan living law di Indonesia.
Kita tahu bahwa memakai helm saja diatur agar memakai helm yang memenuhi standar nasional Indonesia (SNI), bila tidak maka bisa terkena pidana. Masak "memakai" anak orang tanpa prosedur standar atau "memakai" bini orang tidak bisa terkena pidana kecuali dilaporkan oleh orang tua, suami atau anaknya? Padahal jelas sama-sama tidak merugikan orang lain secara langsung. Kalau berbicara soal potensi kerusakan, sama besar efek kerusakannya bahkan jauh lebih besar efek perzinahan dan kumpul kebo daripada sekedar tidak memakai helm SNI.
Negara ini aneh, perkawinan diatur sedemikian rupa dalam Undang-undang dengan keribetan prosedural sedemikian rupa. Ribet sekali pokoknya agar diakui negara ini. Anak yang lahir dari pernikahan yang tidak menempuh jalan prosedural yang ribet itu akan terkena hukuman yang berkonsekuensi fatal, yaitu akta kelahirannya hanya akan dicatat sebagai anak ibunya tanpa ada bapak di sana. Bayangkan betapa besar konsekuensi dari status "tanpa bapak" ini di depan meja pengadilan ketika terjadi sengketa hukum terkait waris dan semacamnya. Berbusa-busa para ahli hukum kita menjelaskan bahwa segala keribetan dan sanksi itu dibuat untuk melindungi hak dan kewajiban rakyat yang menikah atau pun anak-anak yang dilahirkan akibat pernikahan itu. Intinya ditekankan bahwa menikah bukan hanya soal ada lelaki dan perempuan yang ingin berhubungan badan.
Tapi untuk apa itu semua bila ternyata tidak menikah pun bebas berhubungan badan seenaknya selama pihak keluarganya tidak ada yang menggugat? Mana analisis yang berbusa-busa itu kok tiba-tiba melempem cuma berhenti di titik "tidak merugikan orang lain secara langsung". Hilang ke mana semangat untuk menghindari kelahiran anak tidak sah itu? Ataukah nilai-nilai agung bangsa ini tentang pernikahan cukup diganti dengan alat kontrasepsi agar tidak terjadi kelahiran yang tidak diinginkan?
(15/6/2021)
[fb penulis]