Mengendus Di Balik Layar Pengangkatan Komisaris Telkom (Bagian 3)
Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Soal suntikan Rp6,4 triliun Telkomsel ke Gojek, saya perlu mempertahankan argumen seperti dalam dua status sebelum ini, karena ada sejumlah sanggahan di berbagai media atau forum diskusi.
Saya mulai dengan ringkasan dan kronologi penting.
Tanggal 16 November 2020, Telkomsel suntik US$150 juta. Tanggal 21 Mei 2021, suntik lagi US$300 juta. Total berarti US$450 juta (Rp6,4 triliun). Bentuknya adalah Obligasi Konversi (Convertible Bond) tanpa bunga yang jatuh tempo 16 November 2023.
Tanggal 17 Mei 2021, Gojek dan Tokopedia merger menjadi GoTo dengan valuasi diberitakan US$18 miliar. GoTo akan menuju IPO di bursa Indonesia dan luar negeri. Lalu bertaburanlah publikasi yang inti pesannya adalah bisnis GoTo prospektif dan menguntungkan Telkomsel. Apalagi akan ada bank digital.
Hari ini (1-2 Juni 2021), ada distribusi berita yang isinya relatif seragam dengan narasumber Co Founder Jarvis Asset Management Kartika Sutandi yang berkata, “... Value yang lebih terhadap Telkomsel ini tentu akan berdampak terhadap saham Telkom. Setiap perkembangan positif terhadap Telkomsel akan memberikan dampak kenaikan harga saham Telkom.” (Detikcom).
Lewat isu Abdee Slank diangkat sebagai Komisaris Telkom, saya masuk (31 Mei 2021). Argumen saya dua. Dugaan saya, aksi korporasi Telkomsel-Gojek bermotif: 1) Ambisi/pendanaan/lobi politik; 2) Akumulasi bisnis (mengarah ke financial fraud/korupsi) yang merugikan negara.
Apa dasar hukumnya aksi korporasi ini? Mengapa terjadi di era Jokowi dengan Menteri BUMN Erick Thohir? Mengapa lawan transaksinya Gojek—yang di dalamnya ada Garibaldi Thohir (kakak Erick) sebagai Komisaris Utama berdasarkan Akta Oktober 2019—? Mengapa Managing Partner Kantor Hukum yang menjadi penasihat hukum Gojek saat merger diangkat sebagai Komisaris Telkom? Mengapa ada unsur politisi (mantan pengurus Golkar dan Nasdem) dalam susunan Dewan Komisaris? Mengapa opini publik diarahkan kompak menganggap begitu besarnya prospek GoTo—Too Big to Fail/TBTF?
Sebetulnya saya tidak tertarik menanggapi topik soal valuasi dan tetek-bengek analisis prospek bisnis, karena laporan kas/keuangan Gojek sendiri tidak ada yang tahu. Berapa dan apa saja asetnya kita tidak tahu (kecuali kalau pailit). Itu sama saja menangkap angin.
Saya fokus pada fraud/korupsi dan politik. Ini memang tidak gampang mengendusnya. Tapi perlu kita lakukan.
Saya belajar dari yang nyata dan jelas saja. Salah satunya pertimbangan hakim dalam putusan kasus BUMN Jiwasraya, yang menurut saya menggambarkan realitas dunia bisnis/keuangan/saham yang sebenarnya.
Saya kutipkan dari Putusan Nomor 30/Pid.Sus/Tpk/2020/PN Jkt.Pst atas nama terdakwa Heru Hidayat (di tingkat banding divonis penjara seumur hidup dan ganti rugi Rp10 triliun).
Ada 5 hal yang memberatkan terdakwa kasus Jiwasraya: 1) korupsinya terorganisir dengan baik sehingga sangat sulit mengungkapnya; 2) dalam melakukan tindak pidana menggunakan tangan-tangan pihak lain dalam jumlah yang sangat banyak sebagai nominee; 3) perbuatan dilakukan dalam jangka panjang dengan kerugian negara yang besar (Rp16 triliun); 4) terdakwa menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dan merusak dunia pasar modal dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan dalam transaksi pasar modal; 5) hasil korupsi dipakai untuk foya-foya sementara para nasabah tidak dapat menerima manfaat sehingga kepercayaan masyarakat hilang terhadap dunia asuransi.
Begitulah kejahatan keuangan. Jadi, harap tidak sederhana berpikir bahwa ini cuma soal kompetensi/latar sang gitaris atau terjerat dalam debat kusir tentang bisnis start-up dengan berbasis data yang dipublikasikan pihak tertentu yang sedang jualan.
Saya pikir kasus Telkomsel-Gojek pun bakal serupa. Pelakunya bukan orang-orang bodoh. Mereka terorganisir, tahu kelemahan transaksi bisnis keuangan di negara ini, tahu watak/titik lemah pejabatnya, tahu bagaimana merekayasa celah hukum untuk melindungi, tahu bagaimana rekayasa laporan keuangan, tahu bagaimana menyebarkan informasi untuk mengelabui masyarakat, tahu strategi mengendus risiko dan meng-handle ultimate risk, tahu memanfaatkan perusahaan cangkang, tahu teknik marketing...
Lagi saya pinjam bahasa hakim bahwa pidana yang dilakukan terdakwa dan pihak-pihak lain serta penyelenggara negara bersifat KOLABORASI antara pihak penyelenggara negara sebagai investor dengan pihak lain dalam hal ini swasta yang membutuhkan modal dari investor.
Satu contoh masalah, mengapa Telkomsel (65% milik Telkom, 35% Singtel) yang dipakai sebagai kendaraan suntik?
Karena mereka tahu ada celah aturan yang memungkinkan anak perusahaan BUMN tidak diperlakukan sebagai BUMN (separate economic entity), sehingga keuangannya bukan keuangan negara dan tidak bisa diaudit BPK. (Lihat PP 72/2016 yang diteken Jokowi). Akibatnya adalah ketika nanti ada kerugian, mereka berdalih itu kerugian bisnis (business loss), bukan korupsi!
PP itu memang bisa dicurigai sebagai cara supaya DPR tidak bisa masuk mengawasi ketika akan ada pengalihan kekayaan negara seperti DANA SEGAR, barang milik negara, piutang negara pada BUMN/PT, saham milik negara pada BUMN/PT atau aset negara lainnya.
Tapi semoga saja penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) bisa berpikir progresif dan detail untuk membaca arah kejahatan semacam ini.
Ya, kalau si menteri bisa bikin orkestrasi Asian Games, mengapa ‘orkestrasi keuangan’ tidak bisa dia buat juga. Saat ini dia berkuasa membawahkan aset BUMN yang nilainya Rp8.000-an triliun. Dia berkuasa menempatkan pejabat BUMN. Dia berkuasa menandatangani aturan. Bahkan—konon—dia menguasai pula hati presiden.
Jadi pembicaraan kasus Telkomsel-Gojek masih panjang. Anda semua sudah tahu betapa kompleks dan canggihnya rute jalan dan permainannya. Akan banyak isu dihembuskan untuk memikat masyarakat. Akan banyak pasukan dipakai untuk membenarkan ‘orkestrasi keuangan’. Akan banyak adu domba dan polarisasi dibuat.
Akan banyak pengalihan supaya kita tidak fokus pada pokok perkara (opini bisa saja dibuat bahwa Gojek too big to fail dan sudah menjadi lifestyle. Ya, itu karena demand-nya ada yang bentuk. Toh, bisa juga kita berpikir terbalik: mitra terjerat cicilan dan bunga leasing, penyedia barang/jasa dibebani komisi aplikasi, konsumen harus membayar lebih mahal, negara kehilangan beberapa pos pendapatan pajak, investor membakar uang, dsb)
Jika Presiden Jokowi berbicara mengenai bahaya ideologi transnasional radikal dalam peringatan Hari Pancasila kemarin, sekarang saya tunjukkan, yang namanya ideologi transnasional radikal ya si kapitalis totok itu: siapa saja para pelaku ‘orkestrasi’ yang memperkosa keuangan negara dengan berbagai kepintaran dan jaringan lintas negara mereka, tapi dari luar terlihat baik, wangi, berakhlak.
Salam 6,4 Triliun.
[fb]