KETIKA debat capres dulu, Presiden Jokowi membanggakan soal unicorn (perusahaan/start-up yang valuasinya US$1 miliar/Rp14 triliun). Pada pembukaan Hannover Messe Februari 2021, ia juga pamer ke Kanselir Jerman Angela Merkel tentang Indonesia yang punya 5 unicorn dan 1 decacorn (valuasi US$10 miliar/Rp140 triliun). Industri ini akan berkontribusi pada PDB Indonesia sebesar US$133 miliar pada 2025.
Sekarang kita lihat sendiri yang terjadi adalah perlombaan orang tajir pemilik (valuasi) kekayaan triliunan rupiah dari kepemilikan saham perusahaan teknologi/digital: Anthony Salim dengan DCII, GoTo yang diklaim valuasi sampai US$490 triliun ketika IPO nanti, Bukalapak yang bersiap IPO Agustus nanti US$11 triliun, hingga CT Corpora yang menggandeng Mitsui untuk ikut perlombaan ini. Bisnis yang diincar adalah pangkalan data (data center) dan bank digital.
Sampai akhirnya muncul berita mantan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro (BS) laris-manis jadi komisaris di 4 perusahaan yang salah satunya adalah BUMN (Telkom, Astra/ASII, TBS Energi/TOBA, dan Bukalapak). Tanpa rasa sungkan ketika ditanya wartawan tentang rangkap jabatan itu ia punya dua alasan: 1) dia bukan orang pertama yang menjabat beberapa jabatan komisaris; 2) batasnya (sesuai aturan) 5, dia di bawah itu.
Saya tidak akan bahas soal Anthony Salim dan CT Corpora, karena mereka swasta yang berlomba pakai duit sendiri. Tapi GoTo dan Bukalapak lain ceritanya. Ada keterlibatan perusahaan negara di situ dalam perputaran bisnis dan rotasi jabatan publik.
Wajar kita bertanya pada Presiden Jokowi, apakah memang seperti ini kemajuan teknologi digital yang diinginkan? Lebih dulu terjadi peningkatan kekayaan saham para sultan ketimbang pendapatan/kesejahteraan masyarakat umum? Apakah masyarakat dapat porsi sekadar menjadi data/angka yang terkumpul dalam satu ekosistem yang dikemas menjadi pasar potensial bagi produk perbankan digital nantinya?
Dua alasan rangkap jabatan BS di atas bagi saya adalah dalih retoris belaka. Ia gunakan hukum sebagai pembenaran jabatan. Ia menutup-nutupi sesuatu di balik sebuah rencana bisnis besar atas nama kemajuan ekonomi digital. Ia adalah bagian dari proses besar kapitalisasi segelintir swasta yang memanfaatkan BUMN.
Soal teknis dan celah hukum, itu bisa diatur. Publikasi media yang bagus dan renyah, bisa diurus konsultan. Tapi di sini kita pakai nalar dan empati. Kita melihat utuh dalam skema yang lebih luas. Bukan masalah kuantitasnya saja (batasnya 5 jabatan) melainkan lihat kualitas relasi hubungan kekuasaannya.
Lihat jenis kelamin komisarisnya. BS adalah Komisaris Independen di TLKM dan ASII (beda jika dibandingkan misalnya dengan Peter Gontha di Garuda yang adalah komisaris biasa dan berhak mewakili kepentingan pemegang saham yakni CT Corpora). Apa independennya jika situasinya begini:
BS adalah Komisaris Utama/Komisaris Independen TLKM. Ia juga duduk menjadi anggota Komite Audit TLKM.
Telkomsel adalah anak perusahaan yang dikendalikan oleh TLKM (65% TLKM, 35% Singtel). Laporan keuangan Telkomsel terkonsolidasi dengan Telkom.
Telkomsel melakukan transaksi ‘investasi’ di PT Aplikasi Karya Anak Bangsa/AKAB (Gojek) sebesar Rp6,4 triliun (November 2020 dan Mei 2021).
ASII adalah pemegang saham Gojek (35.720 lembar saham Seri I senilai Rp17,86 miliar; Seri J 13.228 lembar senilai Rp6,6 miliar, dan Seri M 20.656 lembar senilai Rp10,3 miliar). ASII sudah tanam Rp13,5 triliun di Gojek.
Sementara BS adalah Komisaris Independen ASII yang juga duduk sebagai Komite Audit.
Dengan Bukalapak, situasinya begini:
BS adalah Komisaris Utama/Komisaris Independen Telkom sekaligus anggota Komite Audit. Ia juga menjadi Komisaris Utama/Independen Bukalapak dan TOBA.
Fajrin Rasyid adalah Direksi Telkom. Ia juga pemegang saham Bukalapak (Seri C sebanyak 310.185 lembar senilai Rp310,1 juta).
Pandu Patria Sjahrir adalah Direktur TOBA. Ia juga pemegang saham Bukalapak (Seri A 1.310 lembar senilai Rp1,3 juta, Seri B 378 lembar senilai Rp378 ribu, Seri A1 3 lembar Rp9 juta).
Itu saya kutip dari Akta PT Bukalapak.com tanggal 13 April 2020.
Sementara bisnis GoTo dan Bukalapak beririsan: digital dan marketplace. Keduanya pun berencana IPO dengan valuasi jumbo. Bahkan OJK sampai membuat aturan khusus agar proses listing keduanya mulus.
Sekali lagi Pak BS, masalahnya bukan cuma “batasnya kan 5, saya di bawah itu”. Lihat kualitas benturan kepentingannya.
Cek Peraturan OJK No. 42/POJK.04/2020. Afiliasi adalah hubungan antara 2 perusahaan di mana terdapat 1 atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama. Transaksi benturan kepentingan adalah transaksi yang dilakukan oleh perusahaan terbuka ATAU PERUSAHAAN TERKENDALI dengan setiap pihak, baik dengan afiliasi maupun pihak selain afiliasi yang mengandung benturan kepentingan. Perusahaan terkendali adalah suatu perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan terbuka.
Dilarang pula merangkap jabatan yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dengan BUMN yang bersangkutan (Peraturan Menteri BUMN No. PER-10/MBU/10/2020).
Ada juga aturan mengenai etika berkaitan dengan peluang perseroan yang melarang Komisaris untuk: “Berkompetisi dengan perseroan, yaitu menggunakan pengetahuan/informasi dari dalam (inside information) untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan selain kepentingan perseroan. (Peraturan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi Telkom No. 08/KEP/DK/2020).
Apa yang ada dalam pikiran Menteri BUMN ketika mengangkat yang bersangkutan dalam posisi yang katanya independen itu? Jelas ini tidak masuk akal jika melihat alasan Menteri BUMN bahwa BS memiliki kemampuan untuk menekan Capex (Capital Expenditure) Telkom. Apa cuma BS di Indonesia yang bisa menekan Capex?
Saya menganggap penting untuk merinci hal-hal terkait potensi benturan kepentingan seperti ini. Saya angkat pelan-pelan contoh kasus mulai dari transaksi Telkomsel-Gojek dan Rekind-Panca Amara Utama yang secara kasat mata juga bisa dilihat potensi benturan kepentingan antara posisi Menteri BUMN dan kakaknya (Boy Thohir yang Komisaris Gojek dan PAU).
Anda semua mau apa dengan BUMN-BUMN?
Saya mencium gejala lebih besar lagi. Gerakan massif untuk melakukan transaksi bisnis memanfaatkan BUMN untuk kepentingan kekayaan pribadi/kelompok.
Kita sebaiknya cermat pada setiap langkah bisnis negara ini. Jika luput, hal yang lebih besar akan (tengah) dimainkan. Kita belum bicara bagaimana Lembaga Pengelola Investasi (LPI) akan dimainkan, padahal modal negara besar sekali di situ (Rp75 triliun).
Kita belum bicara serius tentang bagaimana ‘kegagalan’ investasi negara pada masa lalu berujung pada kerugian dan sangat mungkin ada perilaku korupsi di situ. Jiwasraya, Asabri, Telkom-Tiphone adalah beberapa contoh.
Mau bicara juga investasi PGN di Lapangan Kepodang yang berkaitan dengan Sunny Ridge Group, Casafina Offshore Limited dsb? Kita lihat saja nanti nyali KPK yang sudah pegang barang Rp1 triliun ini.
Salam Ikan Cupang.
(Agustinus Edy Kristianto)