Belenggu di Kampus Kita
Kampus, yang seharusnya menjadi arena dialektika bagi civitas akademika, kini berubah menjadi sarang para centeng pemerintah.
Apa yang terjadi jika ada forum diskusi kampus ataupun pernyataan lembaga kemahasiswaan yang mengkritik pemerintah? Acaranya dibubarkan rektor, pembuat kritiknya diperiksa, dirisak, atau akun media sosialnya diretas. Pilihan konsekuensi itu telah menjadi kenyataan pahit bagi banyak universitas di Tanah Air. Kampus, yang seharusnya menjadi arena dialektika bagi civitas academica, kini berubah menjadi sarang para centeng rezim yang sedang berkuasa.
Contoh terbaru adalah reaksi berlebihan pihak rektorat terhadap unggahan akun Instagram Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang mengkritik Presiden Joko Widodo. Tak cukup memanggil dan meminta penjelasan, petinggi kampus juga mendesak pengurus BEM menghapus unggahan berupa meme dengan tulisan Presiden sebagai “The King of Lip Service” alias raja omong kosong.
Upaya mengintervensi kebebasan mahasiswa menyampaikan kritik jelas merupakan langkah yang kebablasan. Alasan BEM UI melanggar aturan dan menghina simbol negara juga tidak masuk akal, baik dari sisi hukum maupun logika demokrasi. Meme yang dibuat itu sepenuhnya datang dari pemikiran kritis para mahasiswa atas situasi politik yang sedang terjadi di era pemerintahan Jokowi. Apalagi konstitusi menyebutkan bahwa simbol negara adalah bendera Merah Putih, bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Presiden tidak termasuk di antaranya.
Pembungkaman terhadap civitas academica di UI menambah panjang daftar campur tangan otoritas kampus terhadap beragam kegiatan mahasiswa untuk berekspresi. Pada September 2019, misalnya, Forum Rektor Indonesia meminta mahasiswa seluruh Indonesia tidak turun ke jalan menolak sejumlah rancangan undang-undang yang dianggap bermasalah.
Pernyataan itu muncul setelah para rektor bertemu dengan Jokowi di Istana Negara. Penegasan itu diperkuat oleh pernyataan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi kala itu, yang meminta mahasiswa menyampaikan aspirasi dengan berdiskusi, bukan berdemonstrasi. Aksi para mahasiswa tersebut malah dituduh sebagai salah satu upaya untuk menggulingkan pemerintah. Perilaku ini menegaskan bahwa pimpinan kampus tak ubahnya corong pemerintah.
Rendahnya kesadaran akan perbedaan pendapat juga membuat mahasiswa dan dosen ditekan banyak pihak. Mereka adalah para kelompok pendukung dan aparat yang semata-mata memakai “kacamata kuda” membela segala rupa tindakan pemerintah. Contoh paling dekat adalah pembatalan diskusi publik berjudul “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Juli 2020.
Penyelenggara dan pemateri diskusi diteror dan dirisak di media sosial. Perangkat seluler dan aplikasi percakapan mereka diretas. Peristiwa yang sama juga dialami pengurus BEM UI. Sampai sekarang, penegak hukum tak pernah berhasil mengungkap seorang pun pelaku di balik teror ini. Padahal Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dengan nyata menjamin kebebasan kampus menggelar mimbar akademik dan memiliki otonomi keilmuan.
Wajar bila situasi saluran berekspresi dan menyampaikan aspirasi di kampus saat ini mirip dengan pembungkaman di era Orde Baru. Kampus tak ubahnya pabrik yang hanya mencetak para tenaga kerja. Tak ada kesempatan untuk memperluas dialektika terhadap kehidupan bernegara. Setiap ruang berbicara diawasi dan terasa semakin sempit. Kabar suram bagi demokrasi kita.(*)
*Sumber: Koran TEMPO edisi 29 Juni 2021