[PORTAL-ISLAM.ID] Organisasi hak asasi manusia Amnesty International mengatakan pemerintah China melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang, wilayah di barat laut yang merupakan tempat tinggal komunitas Uighur dan minoritas Muslim lainnya.
Dalam laporan yang diterbitkan hari Kamis (10/06), Amnesty mendesak PBB untuk menginvestigasi.
Mereka mengatakan China telah melakukan penahanan massal, pengawasan, dan penyiksaan terhadap kelompok Uighur, Kazakh, dan Muslim lainnya.
Agnes Callamard, sekretaris jenderal Amnesty International, menuduh pemerintah China menciptakan "situasi distopia dalam skala yang tak terbayangkan".
"Ini seharusnya mengguncang kesadaran umat manusia, bahwa begitu banyak orang telah menjadi korban cuci otak, penyiksaan, dan perlakuan merendahkan lainnya di kamp-kamp penawanan, sementara jutaan lainnya hidup dalam ketakutan di tengah aparat pengawasan yang begitu masif," kata Callamard.
Ia juga menyalahkan Sekjen PBB Antonio Guterres karena "gagal untuk bertindak berdasarkan mandatnya."
Guterres "tidak pernah mengecam situasi ini, dia tak pernah meminta penyelidikan internasional," kata Callamard kepada BBC.
"Adalah kewajiban dia untuk melindungi nilai-nilai yang menjadi dasar pendirian PBB, dan yang jelas tidak diam saja di hadapan kejahatan terhadap kemanusiaan," imbuhnya.
Dalam laporan 160 halaman berdasarkan wawancara dengan 55 mantan tahanan, Amnesty mengatakan ada bukti bahwa negara China telah melakukan "kejahatan terhadap kemanusiaan setidaknya dalam bentuk: pemenjaraan atau bentuk perampasan kebebasan fisik lainnya yang melanggar aturan-aturan fundamental dalam hukum internasional; penyiksaan; dan persekusi".
Laporan tersebut menyusul sekumpulan temuan serupa oleh Human Rights Watch, yang mengatakan dalam laporan yang terbit April lalu bahwa mereka percaya pemerintah China bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
Beberapa negara dan kelompok HAM di Barat telah menuduh China berusaha melakukan genosida terhadap warga Uighur, kelompok etnik Turki, di Xinjiang - meskipun ada perdebatan apakah tindakan yang dilakukan oleh negara tersebut bisa disebut genosida.
Penulis laporan Amnesty, Jonathan Loeb, mengatakan dalam konferensi pers Kamis kemarin bahwa penelitian mereka "tidak mengungkap bahwa semua bukti tentang kejahatan genosida telah muncul" namun bahwa penelitian tersebut "baru menyentuh permukaan".
China selalu menolak semua tuduhan tentang pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.
'Kekerasan dan intimidasi'
Para pengamat umumnya sepakat bahwa China telah menahan sebanyak satu juta Uighur dan Muslim lainnya serta memenjarakan ratusan ribu orang lainnya dalam tindakan kerasnya di Xinjiang, yang dimulai pada 2017.
Telah ada banyak laporan tentang penyiksaan fisik dan psikologis di dalam penjara dan kamp tahanan di wilayah tersebut.
China juga telah dituduh berusaha mengurangi angka kelahiran dan kepadatan populasi melalui sterilisasi, aborsi, dan transfer populasi secara paksa; serta menyasar para pemimpin agama untuk menghentikan berbagai tradisi agama dan budaya.
China menampik semua tuduhan itu, dan mengatakan bahwa kamp-kamp di Xinjiang adalah program vokasi dan deradikalisasi yang dapat dihadiri secara sukarela untuk melawan terorisme di wilayah tersebut.
Dalam laporannya, Amnesty mengatakan bahwa kontra-terorisme tidak menjelaskan secara masuk akal penahanan massal yang terjadi di wilayah tersebut, dan bahwa tindakan pemerintah China menunjukkan "niat yang jelas untuk menyasar sebagian populasi Xinjiang secara kolektif atas basis agama dan etnisitas serta menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk menghapus keyakinan agama Islam serta praktik etno-kultural Muslim Turki".
Amnesty mengatakan bahwa mereka percaya orang-orang yang dibawa ke jejaring kamp di Xinjiang "dihadapkan pada program indoktrinasi tanpa henti serta penyiksaan fisik dan psikologis".
Metode penyiksaan tersebut, menurut laporan, termasuk "pemukulan, setrum listrik, posisi stres, penggunaan belenggu yang melanggar hukum (termasuk penahanan di "kursi macan"), membuat tahanan susah tidur, menggantung tahanan di tembok, menempatkan tahanan dalam temperatur yang sangat dingin, dan ruang isolasi".
"Kursi macan" - yang keberadaannya telah dilaporkan banyak media lain - adalah sebutan bagi kursi besi dengan belenggu untuk tangan dan kaki yang dirancang sedemikian rupa supaya tubuh tidak bisa bergerak. Beberapa mantan tahanan berkata kepada Amnesty bahwa mereka dipaksa menyaksikan tahanan lain dibelenggu di kursi macan selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari.
Amnesty juga mengatakan bahwa sistem kamp di Xinjiang tampaknya "beroperasi di luar jangkauan sistem peradilan pidana China atau aturan formal domestik lainnya", dan ada bukti bahwa para tahanan telah dipindahkan dari kamp-kamp ke penjara.
Meskipun banyak laporan serupa telah diterbitkan, investigasi Amnesty kemungkinan besar akan menambah tekanan internasional kepada China terkait tindakannya di Xinjiang. Departemen Luar Negeri AS menjabarkannya sebagai genosida; parlemen Inggris, Kanada, Belanda, dan Lithuania meloloskan resolusi yang mendeklarasikan hal yang sama.
Pada Maret lalu, Uni Eropa, AS, Inggris, dan Kanada memberlakukan sanksi kepada pejabat China terkait tuduhan pelanggaran HAM.
China merespons dengan menerapkan sanksi balasan pada penegak hukum, peneliti, dan institusi.
Kemungkinan China diinvestigasi oleh badan hukum internasional diperumit dengan fakta bahwa China bukan anggota Pengadilan Pidana Internasional(ICC) - yang membuatnya berada di luar yurisdiksi pengadilan tersebut - dan memiliki kekuatan veto terhadap kasus yang ditangani oleh Mahkamah Internasional.
ICC mengumumkan pada Desember lalu bahwa mereka tidak akan meneruskan kasus ini.
Serangkaian persidangan independen digelar di kota London, Inggris pekan lalu, dipimpin oleh pengacara Inggris ternama Sir Geoffrey Nice, untuk meninjau tuduhan genosida.