Langkah Ganjar Terhenti, Tapi Tidak Langkah Anies
Oleh: Ady Amar*
Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, “dijewer” dengan keras. Jeweran itu membuatnya lunglai tak berdaya. Setidaknya ia menyerah, dan membuatnya seolah tidak ingin melangkah lagi.
“Jeweran” pertama dengan mempermalukannya di rumahnya sendiri, Semarang, Jawa Tengah. Saat itu DPD PDIP Jawa Tengah kedatangan tamu, Puan Maharani. Lalu seluruh Bupati/Walikota dan bahkan ketua PC PDI-P se Jawa Tengah diundang untuk mendapat pembekalan dari sang tamu. Tapi Ganjar Pranowo yang merupakan kader PDI-P tak diundang dalam pertemuan itu.
Secara terbuka Ketua DPD PDI-P Jawa Tengah, Bambang Wuryanto, memberi penjelasan gamblang, mengatakan bahwa pertemuan itu memang tidak mengundang Gubernur Jawa Tengah. Tentu itu “jeweran” menyakitkan pertama yang dirasakan Ganjar.
“Tidak diundang (Ganjar) wis kemajon (kelewatan), yen kowe pinter, ojo keminter (kalau kamu pintar, jangan sok merasa pintar),” kata Bambang Pacul, nama populer ketua DPD PDI-P Jawa Tengah.
Pernyataannya itu sih bukan sekadar jewer, tapi seperti “dipacul” hati Ganjar itu. Ada nada kemarahan disemburkan pada publik. Apa sebenarnya kesalahan Ganjar itu, kok sampai tidak diewongke, dimanusiakan. Ganjar dianggap melakukan kesalahan yang semestinya tidak dilakukannya.
Ganjar Pranowo memang melangkah terlalu cepat, dan itu tidak disuka. Ganjar mestinya tahu diri, bahwa partai sudah punya rencananya sendiri. Tapi Ganjar tidak peka soal itu, ia memang tidak terang-terangan memproklamirkan keinginannya melakukan peruntungan yang lebih besar lagi, dan itu untuk 2024.
Tampaknya PDI-P, meski belum resmi akan mencalonkan putri mahkotanya, Puan Maharani, entah sebagai Capres atau Cawapres. Suara itu seharusnya sudah didengar semua pihak, khususnya dikalangan internal pertai.
Meski belum resmi, tapi pendekatan berupa jodoh-jodohan sudah mulai dilakukan dengan partai lain, khususnya pendekatan dengan Partai Gerindra. Maka, Puan Maharani, digadang-gadang akan disandingkan dengan Prabowo Subianto sebagai Cawapres. Koalisi dua partai besar ini, PDI-P dan Partai Gerindra, tampaknya sudah mengerucut.
Meski itu masih sumir, tapi akan majunya trah Soekarno ini yang diharapkan PDI-P khususnya yang diharapkan sang bunda. Dan tahun 2024, itu waktu yang tepat untuk merealisasikannya. Dengan munculnya Ganjar Pranowo, meski tidak terang-terangan tapi itu tampak dari langkah-langkahnya, dianggap seperti mengecilkan dan akan membuyarkan rencana yang sudah coba dibangun.
Langkah Ganjar Pranowo, itu meski juga tidak terang-terangan tapi mudah dibaca, bahwa itu langkah yang dipersiapkannya menuju perhelatan Pilpres. Itu yang tidak disuka internal partai. Itu yang diistilahkan Bambang Pacul dengan wes kemajon (sudah kelewatan).
Langkah Ganjar yang kemajon itu memang tampak dengan begitu gencarnya ia tampil di medsos. Ia gunakan media sosial untuk rencana-rencananya, disamping “menggunakan” lembaga survei untuk “menjelaskan” elektabilitasnya. Maka yang bisa dilihat dari hasil berbagai lembaga survei, Ganjar setidaknya selalu ada di posisi 3 besar. Sedang elektabilitas Puan Maharani jauh dibawahnya. Ini yang dianggap Ganjar melangkah duluan, seolah curi start.
Dalam arahan Puan Maharani di Semarang, Jawa Tengah, itu jelas-jelas langkah Ganjar bermedia sosial itu disinggungnya, meski tidak menyebut nama. “Pemimpin itu harus turun ke lapangan, bukan cuma muncul di media sosial”. Kurang lebih narasi itu yang disampaikan Puan. Dan itu “jeweran” kedua yang diterima Ganjar.
Dan tampaknya yang membuat “tobat” Ganjar Pranowo untuk tidak melangkah lebih jauh lagi, yaitu pernyataan madam Megawati Soekarnoputri. Pernyataan Ketua Umum PDI-P itu, meski sekalipun tidak menyebut nama, jelas ditujukan pada Ganjar Pranowo.
“Kalau enggak mau jadi petugas partai, saya enggak ngomong lagi anggota partai, petugas partai, artinya yang diberi tugas oleh partai, out,” ujar Megawati Soekarnoputri, Ahad (30/Mei).
Kata out itu adalah “jeweran” keras ketiga yang diterima Ganjar Pranowo. Dan ini mau tidak mau ia harus menghentikan langkahnya. Jika masih berkehendak dengan perhelatan tahun 2024, ia cukup menyimpannya dalam hati saja. Itu jika kata out tidak ingin jadi kenyataan. Sikap Ganjar atas “jeweran” Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, itu diresponsnya dengan takzim, dengan kalimat, “Sepakat bahwa kader harus mentaati arahan atau tegak lurus terhadap Ketua Umum PDI-P.”
Kasihan melihat Ganjar Pranowo itu, apa yang diikhtiarkan setidaknya sejak 1,5 tahun intens bermedia sosial “membina” agar elektabilitasnya tinggi, dan lalu dipilih partainya pupus seperti debu dihempas angin.
Anies Baswedan Melangkah Tanpa Bayang-bayang
Jika Ganjar Pranowo itu petugas partai, seperti juga Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang langkah politiknya selalu harus tegak lurus dengan Partai (PDI-P), itu tidak berlaku pada Anies Baswedan, yang justru tegak lurus tanpa bayang-bayang bersama rakyat.
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, menjadi manusia merdeka. Ia memposisikan diri sebagai kader bangsa. Tidak sempit sebagai kader partai, atau apalagi penyebutan tidak mengenakkan sebagai petugas partai. Sebagai petugas partai, itu akan bias kepentingan, setidaknya secara psikologis dalam pengelolaan tugasnya sebagai kepala pemerintahan, baik tingkat daerah maupun nantinya jika takdir membawanya sebagai pemimpin nasional.
Dan tentu pula tidak baik, dan merugikan tugasnya selaku abdi negara, jika harus digandoli selaku petugas partai. Harusnya setelah terpilih dan menjabat di pemerintahan, maka partai tidak mengikatnya lagi. Melepasnya sebagai wakaf partai pada negara. Ia pyur berpikir tentang bangsa dan negara, terutama akan bersikap adil tanpa memihak disebabkan arahan partai.
Anies Baswedan beruntung sebagai pribadi yang tidak terikat pada salah satu partai. Tidak sebagai kader partai, itu justru menguntungkannya dalam berkomunikasi dengan banyak partai. Sikapnya menjadi luwes tapi tetap bersikap, dan karenanya punya nilai tawar yang sejajar bahkan tinggi. Ia tidak terkooptasi dengan kemauan an sich partai tertentu.
Maka langkah Anies Baswedan menjalankan tugasnya selaku kepala daerah, tidak terganggu dan tarik menarik dengan kepentingan partai dimana ia semula berkhidmat. Tidak ada jalan untuk hengki pengki dengan orang-orang partai dimana ia dibesarkan.
Maka, Anies hanya berkhidmat pada rakyat yang mengamanatinya jabatan. Ia jalan tegak lurus memenuhi janji-janji kampanyenya. Itu bisa dilihat dari karya-karya yang dihasilkannya selaku Gubernur DKI Jakarta. Penghargaan demi penghargaan dari berbagai lembaga pemerintahan dan swasta didapatnya, baik secara pribadi maupun atas nama Pemprov DKI Jakarta. Dan, bahkan penghargaan dari lembaga internasional.
Anies Baswedan bicara lewat karya-karyanya yang tidak coba dihadir-hadirkan semu dengan pencitraan, tapi hadir karena prestasi yang diukirnya. Dalam empat tahun memimpin, Jakarta tampak disulapnya menjadi kota kelas dunia. Semestinya pemimpin model Anies Baswedan ini yang diharapkan di 2024, dan memenangkan perhelatan itu. Rakyat tidak layak lagi ditipu munculnya pemimpin hasil pencitraan, yang cuma menang di pemberitaan media sosial dan dengan hasil survei tinggi, tapi miskin karya.
Tahun 2024 masih sekitar tiga tahun lagi, pinang meminang dan pergeseran aliansi koalisi masih dimungkinkan. Dalam politik semuanya bisa terjadi, bahkan hal mustahil pun akan muncul tanpa pernah dipikirkan.
Jabatan Anies Baswedan berakhir di tahun 2022, ada masa mengganggur sekitar 1,5 tahun untuk ia terus membuat panggungnya sendiri, dan diharap jadi berita. Masa itu justru akan dimanfaatkannya untuk menyapa komunitas masyarakat dari sabang sampai merauke, tanpa disibukkan dengan jabatannya selaku Gubernur DKI Jakarta.
Ganjar Pranowo bukannya benar-benar habis, itu tergantung dari elektabilitas Puan Maharani sekiranya bisa terdongkrak naik, atau tetap-tetap saja dikisaran dibawah 5 persen. Jika Puan tidak bisa “diselamatkan”, bisa jadi “berkah” buat Ganjar. Tapi lagi-lagi yang utama bagi Ganjar Pranowo adalah restu madam didapatnya.
Sedang Anies Baswedan jalan menuju 2024 nya itu ajek, dan partai yang menggandengnya pun sudah tampak jelas koalisinya, dan sepertinya tidak akan lepas dari PKS, Partai Demokrat dan Partai Nasdem… dan terutama bersama rakyat. Tidak perlu banyak-banyak partai, sehingga tidak tarik menarik kepentingan saat pembentukan zaken kabinetnya nanti. Rasanya tidak sabar sampai di 2024, semoga umur masih tersisa menyaksikan munculnya pemimpin yang diharapkan itu. (*)
*Kolumnis, tinggal di Surabaya