I’tifad; Sisi Lain Dari Masyarakat Jahiliyah
Oleh: Ustadz Yendri Junaidi, Lc, MA
Era sebelum Islam datang disebut jahiliyyah (kebodohan) karena masyarakat di masa itu tidak mengenal Allah Swt dengan benar. Tapi ini tidak berarti mereka bodoh dalam segala hal. Banyak keunggulan mereka yang mungkin tidak dimiliki oleh masyarakat modern. Seperti kemampuan mengenali nasab seseorang hanya dengan melihat tumitnya saja yang dikenal dengan istilah al-qiyafah (القيافة), dan lain-lain. Tidak hanya itu. Banyak dari karakter masyarakat di masa itu yang sangat luar biasa, yang bisa membuat malu masyarakat modern.
Salah satunya apa yang disebut dengan al-I’tifad (الاعتفاد). I’tifad adalah ketika datang kemarau yang panjang, dan bekal untuk bertahan hidup tak ada lagi, sang ayah sebagai kepala keluarga akan membangun sebuah gubuk dari batu. Lalu ia mengajak anak dan isterinya masuk ke dalam gubuk itu. Setelah anak isterinya masuk ia pun masuk lalu menutup gubuk itu dengan batu terakhir. Mereka sudah siap mati kelaparan di dalam gubuk itu. Itu semua mereka melakukan supaya tidak jatuh pada kehinaan menerima belas kasihan orang lain. Mereka juga tidak ingin ada orang yang tahu kalau mereka sedang berada dalam kondisi yang sangat sulit.
Tentu kebiasaan jahiliyah ini tidak sepenuhnya benar. Menyerah pada kondisi hidup yang sulit tentu bukan sesuatu yang baik. Tapi mari lihat sisi luar-biasanya. Keengganan dibelaskasihani. Keengganan termakan budi. Keengganan kehilangan air muka.
Siapa orang pertama yang punya inisiatif menghilangkan tradisi ini? Dialah Hasyim bin Abdu Manaf. Ia berkata pada masyarakat Quraisy: “Wahai masyarakat Quraisy, kita adalah suku yang paling mulia dan disegani dalam masyarakat Arab. Jumlah kita juga banyak. I’tifad ini telah banyak memakan korban diantara kita. Saya punya pendapat.”
Serentak mereka berkata, “Pendapatmu akan kami dengar wahai Hasyim.”
Hasyim melanjutkan, “Saya berpendapat, orang miskin diantara kita ‘ditumpangkan’ pada orang kaya diantara kita. Untuk setiap keluarga kaya kita tumpangkan satu keluarga miskin. Keluarga miskin yang menumpang ini akan membantu keluarga kaya dalam dua perjalanan yang biasa kita lakukan ; perjalanan di musim panas ke Syam dan perjalanan di musim dingin ke Yaman.”
Pendapat itu diterima baik oleh masyarakat Quraisy. Sejak saat itu tradisi I’tifad pun berakhir. (lihat : at-Tadzkirah al-Hamduniyyah).
☆☆☆
Sebagian orang ada yang selalu memandang ‘hitam’ pada setiap tradisi yang berkembang di masyarakat. Padahal tidak sedikit dari tradisi itu yang baik. Benar, sebagian tradisi itu perlu ‘dibersihkan’ (di-tahdzib) dari hal-hal yang negatifnya, tidak dengan melenyapkannya sama sekali. Adalah lebih mudah mengajak masyarakat melalui adat dan tradisi yang sudah mendarah-daging, setelah di-tahdzib dan diperbaiki, daripada datang dengan sesuatu yang sama sekali baru sambil menuduh bahwa apa yang selama ini mereka lakukan adalah salah.
Rasulullah Saw sendiri ketika masih remaja pernah ikut serta dalam salah satu perang masyarakat jahiliyah, yaitu perang Fijar. Setelah menjadi Rasul, beliau mengenang kembali masa-masa itu dan merasa bahagia pernah ambil bagian dalam perang yang membela keadilan dan kemanusiaan itu.
Islam tidak semestinya dipertentangkan dengan adat dan budaya lokal, kecuali sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengannya. Untuk mengatakan bahwa sesuatu bertentangan dengan Islam tidaklah sesederhana mengucapkannya. Wallahu a’lam.(*)