Geregetan juga.
Saya dengar seorang pejabat berkata apa salahnya dengan kasus Jiwasraya, investasi Rp6,4 triliun Telkomsel ke Gojek, dan sejenisnya. Itu bisnis biasa. Pebisnis sejati tidak pernah pakai uang sendiri tapi pakai duit orang. Kerugian adalah bagian dari risiko.
Saya berpikir, tanggung betul jadi penjahat. Sudah dikasih gaji dan jabatan oleh negara, cuma segitu skill penjahatnya. Cemen!
Jangan tanggung-tanggung. Ayo, kita ‘akali’ duit subsidi petani buat bisnis.
Cerita saya ini ada kaitan dengan isu yang dilempar oleh Menteri BUMN Erick Thohir beberapa hari lalu soal akuisisi Rekind oleh Pertamina yang belum dilakukan karena ada KENDALA. Apa follow up mengenai jenis kendala itu, sampai hari ini saya belum lihat ada di media massa.
Alkisah ada sebuah perusahaan yang mau bikin pabrik Amonia Banggai, Luwuk, Sulawesi Tengah. Namanya PT Panca Amara Utama (PAU).
PAU bukan sembarang perusahaan. Presiden Komisarisnya Boy Thohir (BT)—kakak Menteri BUMN Erick Thohir (ET). Ada juga bekas Danjen Kopassus dan komisaris utama holding perusahaan media sebagai komisaris di situ (Akta PAU 31 Mei 2021).
PAU dikendalikan oleh PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA) melalui PT Sepchem (>50%). BT adalah pemegang saham ESSA (3,61%) sekaligus Wakil Presiden Komisaris.
PAU tunjuklah PT Rekayasa Industri/Rekind (anak perusahaan BUMN Pupuk Indonesia) sebagai kontraktor proyek pabrik itu. No. Kontraknya: PAU EPC 001/PAU-REKIND/2015 tanggal 22 Juni 2015. Nilai proyek itu US$507,86 juta (Rp7 triliun).
Untuk biayai proyek, PAU berutang ke International Finance Corporation (IFC). Pinjaman A dan B tanggal 5 September 2014 sebesar US$94 juta dan US$415 juta. Tanggal 3 Juli 2015, tambah lagi pinjaman kontinjensi US$3 juta. Tanggal jatuh tempo pinjaman A pada 15 Oktober 2027, bunga 4%. Pinjaman B jatuh tempo 15 Oktober 2025, bunga 3,7%. Pada 10 Desember 2015, tambah lagi pinjaman C senilai US$27,1 juta. Jatuh tempo 15 Oktober 2027.
Singkat cerita, groundbreaking diresmikan oleh Presiden Jokowi (2 Agustus 2015). Ada fotonya.
Berjalannya waktu, berselisihlah Rekind dan PAU. Sebab, penyelesaian proyek yang seharusnya 7 November 2017, molor ke 18 Agustus 2018 (pabrik sudah selesai dan beroperasi).
Tak ada ampun, 15 Mei 2019, PAU mencairkan performance bond (jaminan atas pelaksanaan pekerjaan) di Standard Chartered cabang Jakarta senilai US$56 juta (Rp790-an miliar).
Dua hari kemudian (17 Mei 2019), PAU mendaftarkan arbitrase di Singapore International Arbitration, yang direspons oleh Rekind pada 26 Juni 2019.
Rekind tak mau kalah. Dilaporkanlah PAU ke Polda Metro Jaya pada 2 Mei 2019 dan 28 November 2019.
Selama kurun waktu perselisihan itu, ada dinamika penting: Erick Thohir DILANTIK sebagai Menteri BUMN pada 23 Oktober 2019.
Laporan Keuangan Rekind 2019 menunjukkan total ekuitas Rp976,7 miliar. Pemasukan dari pembayaran proyek amonia Banggai dibukukan dengan catatan memiliki risiko hukum (proses pidana dan arbitrase).
Waktu berjalan. Pada 15 April 2020 dan 15 Oktober 2020, PAU membayar pokok pinjaman ke IFC sebesar US$47,68 juta.
Hingga pada akhirnya, perselisihan Rekind vs PAU diselesaikan pada 12 Agustus 2020 melalui Perjanjian Penyelesaian Terhadap Supplemental Agreement (verifikasi biaya kontrak). Sepakatlah mereka menyelesaikan semua perselisihan yang berkaitan dengan proyek, kontrak EPC, arbitrase, dan laporan polisi.
Uang Jaminan Pekerjaan yang dicairkan PAU pada 15 Mei 2019 sebesar US$56 juta pun dikembalikan pada 26 Oktober 2020. Artinya uang sebesar itu berada selama setidaknya 17 bulan dalam penguasaan PAU (bayangkan jika dihitung bunganya).
Ternyata tak hanya itu. Pada akhirnya, Laporan Keuangan Pupuk Indonesia 2020 mencatat adanya hapus tagih piutang retensi (pembayaran terhadap kontraktor setelah proyek selesai/turn key) terhadap PAU sebesar US$50,78 juta/Rp720-an miliar (10% dari nilai proyek).
Inilah canggihnya bisnis menggunakan duit orang: pembiayaan awal dari utang bank, pabrik selesai dan beroperasi, bisa memutar uang 17 bulan tanpa kewajiban apapun, pun retensi dihapuskan. Semua tanpa perlu ada putusan hukum yang berkekuatan tetap.
Coba renungkan, apakah ini bisa terjadi pada proyek-proyek orang ‘normal’? Apakah yakin tidak ada intervensi mengingat posisi adik sebagai Menteri BUMN (mewakili negara/pemerintah sebagai pemegang saham di BUMN) dan kakak sebagai pemegang saham di PAU/ESSA sebagai pemilik proyek? Fakta lainnya lagi ternyata salah satu Komisaris PAU adalah Komisaris Utama Grup Mahaka, emiten yang pengendalinya adalah ET sendiri.
Anda bisa bayangkan sendiri suasana board room Rekind dan Pupuk Indonesia ketika memutuskan permasalahan berhadapan dengan pihak kakak sang menteri.
Saya sih baca saja di Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) pada BUMN, yang menyatakan salah satu prinsip GCG adalah KEMANDIRIAN (Independency), yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional TANPA BENTURAN KEPENTINGAN DAN PENGARUH/TEKANAN dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
Lalu mengapa saya katakan ini semua berdampak pada petani? Jelas, sebab pada akhirnya mempengaruhi laba Pupuk Indonesia. Dari mana uang Pupuk Indonesia didapat? Paling besar dari pos PENGGANTIAN BIAYA SUBSIDI DARI PEMERINTAH INDONESIA (tahun 2020 sebesar Rp25,7 triliun).
Saya gusar, apakah Presiden Jokowi tahu permainan ‘pakai duit orang’ seperti ini?
Jika ia tidak tahu, berarti masalahnya ada di otak. Jika tahu tapi diam, masalahnya di hati. Jika pura-pura tidak tahu dan menikmati, berarti masalahnya di AKHLAK.
Kalau sudah krisis akhlak, jelas solusinya bukan pelatihan komisaris dan direksi BUMN.
Salam Ikan Cupang.
(By Agustinus Edy Kristianto)