Ada yang bilang tulisan saya menyerang secara membabi-buta. Niatnya adalah framing negatif Menteri BUMN Erick Thohir (ET) dan kakaknya (Garibaldi/Boy Thohir). Dibilang pula ‘kampanye’ saya selama ini (Salam 5,6 Triliun Prakerja dan Salam 6,4 Triliun Telkomsel-Gojek) tidak ada yang diproses hukum/ditanggapi Presiden dan itu berarti yang saya tulis salah. Cuma buat gaduh!
Mari kita uji.
Saya tidak membabi-buta. ‘Tudingan’ saya jelas, terukur, dan bisa dibuktikan fakta/datanya. Semua tulisan saya satu tarikan nafas: agenda negara patut dicurigai dikendalikan oleh SEGELINTIR swasta dan berpotensi merugikan keuangan negara. Saya juga dengar rumor dari sumber-sumber dekat soal itu. Jauh sebelum dinamika politik membawanya ke kursi menteri, ketika ia masih mengincar jabatan Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN)—seperti CT zaman SBY.
Tidak ada urusan pribadi yang perlu saya framing negatif. Tidak ada untungnya. Urusan saya jabatan dia sebagai penyelenggara negara. Bukanlah suatu persoalan kalau swasta berpartisipasi dalam agenda negara. Masalahnya adalah swasta yang seperti apa, siapa saja, bagaimana cara mainnya, merugikan publik tidak…
Dengan cara pikir demikian, menjadi tidak penting menanyakan apakah Presiden merespons kritik saya atau tidak. Naif bertanya mengapa proses hukum tidak maksimal dilakukan SEKARANG (mungkin nanti entah di pemerintahan kapan). Sebab, Presiden adalah bagian dari desain besar agenda ini. Maka, jika timbul masalah, secara logika Presiden adalah bagian dari permasalahan. Bagaimana hukum bisa ditegakkan secara independen sementara penegak hukum di bawah eksekutif (belum lagi bicara integritas), termasuk KPK—yang menurut UU KPK hasil revisi merupakan RUMPUN KEKUASAAN EKSEKUTIF.
Yang kita perlukan sekarang adalah literasi masyarakat meningkat dan pendidikan politik terjadi. Saya ingin berkontribusi di situ. Makanya berpikirlah simpel. Kita hanya perlu teliti pada rentetan isu yang dilempar oleh si pejabat; menggunakan argumen yang sama seperti yang dia gunakan untuk melontarkan kritik; dan mengungkapkan apa saja yang dia sembunyikan, supaya kebenarannya utuh.
Pintu masuknya adalah KONFLIK KEPENTINGAN yang bisa kita endus dari profil aktor dan keputusan yang diambil. Konflik kepentingan adalah pintu yang terlebar untuk korupsi.
Coba tengok apa saja yang diangkat ET selama ini. Jargonnya adalah investasi. Lebih spesifik lagi ia gemar mengangkat soal IPO perusahaan BUMN.
Tidak ada yang salah dengan investasi. Tapi lihat lingkaran aktornya, bagaimana kolaborasinya dengan pejabat untuk menarik modal dari negara, apa motif di balik itu, bagaimana transaksi terjadi, dan apa tanggung jawab jika terjadi risiko yang mempengaruhi masyarakat (investor kecil).
Dia sendiri yang melempar isu IPO BUMN, kasus Jiwasraya, kasus Rekayasa Industri (Rekind), polemik Komisaris Telkom, korupsi Dapen Pertamina, izin batubara… Dan fakta membuktikan di semua lini itu justru KONFLIK KEPENTINGAN kuat sekali, terutama berkaitan dengan posisi bisnis kakaknya dan ada keterlibatan UANG NEGARA di situ.
Soal IPO BUMN sederhana saja. Bagaimana kita bisa yakin kalau IPO BUMN akan sukses alias tidak seperti emiten di mana Erick Thohir menjadi pemegang saham PENGENDALI (PT Mahaka Media Tbk/ABBA), yang selama dua tahun ini ekuitasnya negatif (Notasi Khusus BEI per 3 Juni 2021). Saat ini ekuitas ABBA MINUS Rp58,76 miliar. Apa jaminan wewenang yang ada padanya tidak digunakan untuk menyelamatkan perusahaannya?
Mengapa kita teriak soal suntikan Telkomsel ke Gojek Rp6,4 triliun (berupa obligasi konversi tanpa bunga)? Simpel saja, karena curiga mengapa transaksi jumbo itu terjadi dalam posisi Menteri BUMN adalah adik dan lawan transaksi (PT Aplikasi Karya Anak Bangsa/Gojek) komisaris utamanya si kakak. Anda bisa berdalih teknis macam-macam soal valuasi dan independensi (perbedaan entitas Telkom dan Telkomsel), tapi sulit dibantah fakta yang akhirnya blunder sendiri bahwa Menteri BUMN berwenang mengangkat komisaris yang salah satu tugasnya adalah TERIAK jika ada transaksi benturan kepentingan. Makanya kita tidak ribut soal pribadi Abdee Slank tapi memperkarakan tugas jabatannya itu.
Telkom sendiri tidak kapok dirundung perkara investasi. Manut saja karena pengurusnya MAIN AMAN. Kita bisa lihat fakta saat ini Tiphone (TELE) rugi Rp5 triliun. Duit Telkom yang mengalir ke situ melalui anak perusahaan PT PINS sebesar Rp1 triliun nyangkut. Ekuitas TELE negatif (Notasi Khusus BEI 3 Juni 2021). TELE sedang PKPU. Terancam delisting di bursa. Buku Telkom rusak karena ada penurunan penuh atas nilai investasi. KPK melakukan penyelidikan (Oktober 2020, Dirut PINS diperiksa)—yang boleh juga kita curigai 86 karena sampai saat ini tidak ada kelanjutannya lagi.
Kita perlu tekan KPK, apalagi dengan status ASN ‘premium’ berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang mendapatkan TUNJANGAN KHUSUS jika terjadi PENURUNAN PENDAPATAN. Buat apa bayar mahal kalau ujungnya 86.
Mau bicara apa lagi? Jiwasraya, yang merugikan negara Rp16 triliun dan menyengsarakan banyak nasabah? Boleh saja orang bilang tidak ada kaitannya dengan Erick Thohir (ET) dkk karena tidak terjadi semasa ET menjabat. Betul, tidak ada kasus yang bisa dibandingkan sama 100%. Tapi faktanya adalah ET dan kakaknya pun terseret arus. Simak kesaksian Hary Prasetyo (Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya periode 15 Januari 2008-15 Januari 2018): “Bahwa pada periode 2016 s/d Januari 2018, instrumen investasi yang diinvestasikan oleh PT AJS antara lain: a) Saham yang menjadi underlying reksadana antara lain PPRO, SMBR, BJBR, SAHAM-SAHAM GRUP BAKRIE, SAHAM-SAHAM GRUP ADARO, SAHAM-SAHAM GRUP MAHAKA.” (Putusan Nomor 30/Pid.Sus/Tpk/2020/PN Jkt.Pst atas nama terdakwa Heru Hidayat, Hlm. 792).
Apa lagi? Sekarang ramai soal akuisisi PT Rekayasa Industri (Rekind)—anak PT Pupuk Indonesia—oleh Pertamina yang disebut ET mengalami KENDALA di internal Pertamina, padahal sudah diputuskan seharusnya dieksekusi pada 2015. Jangan terbuai alunan narasi menuju BUMN kelas dunia dsb. Simpel saja pertanyaannya. Apa kendalanya?
Saya kasih tahu bahwa kendala terbesarnya adalah sengketa Rekind dengan PT Panca Amara Utama (PAU), perusahaan yang Presiden Komisarisnya adalah Boy Thohir (Akta Perubahan 31 Mei 2021), berkaitan dengan proyek pembangunan pabrik ammonia Banggai yang dikerjakan Rekind sebagai kontraktor. Nilai proyek itu US$507,86 juta (Rp7 triliun) yang kontraknya pada 22 Juni 2015. PAU dikendalikan PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA) melalui PT Sepchem (99,9%). Boy adalah pemegang saham ESSA.
Perkaranya ada tiga: 1) Pencairan performance bond oleh PAU di Standard Chartered Bank sebesar US$56 juta yang kemudian dilaporkan Rekind ke Polda Metro Jaya; 2) Gugatan arbitrase di Singapura yang diajukan PAU 17 Mei 2019; 3) Hapus buku tagihan retensi 10% dari nilai proyek sebesar US$50 juta (Rp700 miliar) oleh Rekind yang membuat buku Pupuk Indonesia rusak.
Tapi diselesaikanlah semua itu lewat PERJANJIAN PENYELESAIAN 12 Agustus 2020. Rekind cabut laporan polisi. PAU cabut arbitrase. Performance bond dikembalikan oleh PAU. Tapi retensi tetap dihapuskan. Merasa sudah beres, lemparlah ke Pertamina.
Hebat kan, retensi bisa dihapuskan, padahal proyek sudah selesai dan pabrik sudah beroperasi (buktinya apa? Itu saya lampirkan foto Boy dan Presiden Jokowi saat peresmian). Siapa yang harus menutupi retensi yang dihapus itu? Pakai dana subsidi pupuk petani?
Mau bicara apa lagi? UU Cipta Kerja yang ramai dikritik publik itu lolos juga. Ada siapa di situ? Adaro, yang saat ini tengah bersiap perpanjangan izin yang habis pada 2022.
Soal PLN rugi Rp500 triliun? Ya, ini kita kupas di episode berikutnya.
Soal investasi PGN di Lapangan Kepodang? Next…
Mau bicara reputasi bisnis dan akhlak? Bagaimana jika diajukan fakta bahwa dalam dunia jual-beli saham, si kakak pernah digugat karena dinilai sebagai PEMBELI YANG BERIKTIKAD BURUK dalam perkara pengambilalihan saham BFI Finance pada 2011 (Perkara 545/Pdt.G/2018/PN Jkt.Pst yang berakhir dengan pencabutan gugatan yang ditetapkan pada November 2019).
Jadi, minimal sepanjang ini, kita bisa mendapat gambaran bahwa agenda negara dijalankan segelintir swasta itu nyata indikasinya. Bisa kita lacak dan telisik rekam jejaknya.
Presiden tahu nggak? Tahulah, masak nggak tahu. Cuma diam saja.
Ingat Pak Presiden ucapan Menteri BUMN. Pemimpin yang diam saja ketika melihat pelanggaran adalah pemimpin yang zalim!
Salam Ikan Cupang.
(Agustinus Edy Kristianto)