[PORTAL-ISLAM.ID] Ekomom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J Rachbini mengomentari tren penambahan utang dalam audit laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2020 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Laporan BPK atas audit tersebut jelas-jelas telah menunjukkan tren penambahan utang dan biaya bunga yang telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun yang sama,” ujar Didik dikutip dari RMOL, Rabu (23/6/2021).
Terlebih lagi, kata Didik, BPK mengungkap bahwa utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR). Di mana, rasio debt service terhadap penerimaan negara sebesar 46,77 persen, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 persen sampai 35 persen.
Menurut Didik, pengelolaan fiskal yang tercantum di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sejatinya adalah kebijakan politik atau tepatnya politik ekonomi. Sehingga, jika ada masalah dengan kebijakan defisit yang besarannya tidak sesuai dengan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 3 persen, maka yang salah adalah kebijakan politik ekonominya.
“Jadi kebijakan politik ekonomi DPR dan presiden itu masalah berat sekarang ini, yang akan berdampak sangat pada kepemimpinan berikutnya (dengan kata lain Presiden Jokowi akan mewariskan masalah besar pada presiden selanjutnya),” ujar Didik.
Lebih lanjut Didik mengatakan, mesin politik di Indonesia saat ini sedang rusak akibat demokrasi yang sudah mundur menjadi otoriter, sehingga kebijakan anggaran menjadi sewenang-wenang.
Dikatakannya, hal itu terlihat dari langkah pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 1/2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19.
“Kebijakan anggaran menjadi hantam kromo, salah kaprah seperti sekarang ini. Jadi, siap-siap kita menghadapi masalah berat dalam utang yang berat,” imbuhnya,
kemudian ia mengungkapkan, dari data-data utang yang ada saat ini, ekonomi RI sudah berada pada tataran awal dari krisis yang bisa menyebar ke berbagai sektor ekonomi lainnya.
“Termasuk terhadap kepercayaan pada ekonomi Indonesia,” tegas Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ini.
Didik menambahkan, sistem demokrasi yang kini berkamuflase dalam corak pemerintahan otoriter, juga menjadi satu sebab ekonomi dalam negeri terpuruk. Di tambah, anggota-anggota dewan yang hanya menuruti kemauan pemerintah.
“(DPR) Cuma nurut saja, defisit dilebarkan semau gue dengan alasan pandemi. Hak budgetnya (DPR) dipotong, sehingga tidak punya wewenang menentukan APBN,” sebutnya.
“Itu akar masalah karena demokrasinya rontok maka politik ekonomi anggaran memakai kekuasaan politik minus rasionalitas akal sehat, jauh dari obyektivitas teknokratisme,” imbuhnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan per April 2021, posisi utang pemerintah pusat sudah mencapai 41,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau sebesar Rp 6.527,29 triliun.
Teranyar, pemerintah menerima total 1,7 miliar dolar Amerika Serikat, atau setara dengan Rp 24,6 triliun (kurs Rp 14.489 per dolar Amerika Serikat) pencairan dari Bank Dunia dalam sepekan terakhir.
Utang tersebut digelontorkan secara bertahap oleh Bank Dunia untuk mendukung tiga program pemerintah. (*)