Duh… 4 Tahun Penjara, Zalim Luar Biasa
Oleh: Ady Amar*
Hukum memang tidak berdiri sendiri, tapi acap bersinggungan dengan politik kekuasaan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, yang diketuai Khadwanto, SH, memutus 4 tahun penjara, dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) 6 tahun penjara. Itu pada Kasus Tes Swab RS Ummi. Sedang Habib Hanif Alatas dan dr. Andi Tatat, Direktur Utama RS Ummi, diganjar 1 tahun penjara.
Perkara administratif, yang mestinya bisa diselesaikan dengan denda atau pemaafan, bukan malah ditarik pada perkara pidana, Tuntutan JPU 6 tahun, itu sudah bisa dianalisa banyak pihak. Dengan dituntut 6 tahun penjara, maka Majelis Hakim akan memutus minimal 1/3 dari tuntutan, dan maksimal 2/3 dari tuntutan JPU. Antara 2 tahun, dan atau 4 tahun.
Jika ingin mengkandangkan Habib Rizieq Shihab, itu sampai dengan setelah Pilpres 2024, maka pilihan maksimal itu yang akan dipilih Majelis Hakim. Dan memang benar, Habib Rizieq diganjar 4 tahun penjara. Tentu pilihan banding yang dipilih Habib Rizieq, menuntut keadilan atas kezaliman yang diterimanya.
Banding sudah dipilih, maka putusan Pengadilan Tinggi (PT) itu akan menyesuaikan dengan variabel yang menyertainya. Diantaranya, respons umat atas putusan PN. Jika diterima dengan adem ayem, atau ada riak-riak perlawanan dengan bentuk protes dan sebagainya, maka putusan PT akan menyesuaikan.
Vonis 4 tahun penjara yang hanya melakukan kesalahan, jika itu dianggap kesalahan, administratif lalu ditarik pada pidana, itu sudah bisa dianggap sebagai hal tak wajar. Tampak jelas ingin mengkandangkan yang bersangkutan. Maka putusan 4 tahun, itu agar Habib Rizieq tidak ikut “bermain” dalam Pilpres 2024.
Ikutnya Habib Rizieq dalam perhelatan lima tahunan, akan merepotkan pihak-pihak yang ingin jagoannya tidak terusik. Mereka belajar dari Pilkada DKI Jakarta 2017, dimana peran Habib Rizieq dalam mengkonsolidasi umat dalam memenangkan Anies Baswedan tidaklah kecil.
Hukum Tidak Berdiri Sendiri
Pelanggaran administratif dihukum 4 tahun dari tuntutan JPU 6 tahun, ini mengingatkan pada vonis Djoko Tjandra pada kasus pemalsuan dokumen imigrasi yang melibatkan Jaksa Pinangki, dan dua jenderal Kepolisian. Di mana JPU menuntutnya hanya 4 tahun penjara, dan Majelis Hakim menuntut lebih lama 6 bulan dari tuntutan JPU, yakni 4,5 tahun.
Putusan pengadilan memang menjadi tidak sama satu orang dengan lainnya. Bahkan pada kasus yang sama, putusan yang dibuat bisa berbeda jauh. Pun pada kasus ecek-ecek, seseorang bisa dihukum super berat, begitu pula sebaliknya. Semua bisa diperdebatkan dengan dalil, tapi putusan pengadilan terkadang punya dalilnya sendiri.
Hukum memang tidak berdiri sendiri, tapi acap bersinggungan dengan politik kekuasaan. Dan itu yang diterima Habib Rizieq Shihab. Maka pengadilan yang dihadirkan untuknya tampak zalim.
Maka, ungkapan Hakim itu wakil Tuhan di muka bumi dalam hal keadilan hukum, khususnya dalam kasus Habib Rizieq Shihab, tampaknya sudah tidak tepat lagi. Lebih tepat disebut sebagai wakil eksekutif dalam memutus hukum. Hakim bukan wakil Tuhan, tapi wakil kekuasaan.
Habib Rizieq Shihab, pribadi dengan sikap tegas tanpa kompromi. Tidak bisa ditekuk dengan iming-iming kesenangan duniawi, karenanya mesti dikandangkan. Kita tunggu saja episode lanjutannya yang bisa saja seru di luar yang diduga, tapi bisa juga biasa-biasa saja.
*Penulis tinggal di Surabaya
(Sumber: Indonesiainside)