BOHONG DALAM DELIK BOHONG
Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. (Direktur HRS Center & Ahli Hukum Pidana HRS Dkk)
Dalam ilmu hukum pidana tidak diperkenankan memperluas pemberlakuan suatu ketentuan hukum sepanjang tidak adanya kekerpautan hukum. Lain halnya jika ada keterpautan, maka itu menjadi sebab yang mendasari adanya penerapan hukum.
Pada perkara RS UMMI Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan dan tuntutannya telah menyamakan kegaduhan di dunia maya (media sosial) dengan keonaran/kekacauan di kalangan rakyat. Penyamaan tersebut tidak dapat dibenarkan. Tidak dapat disamakan kebohongan yang menimbulkan kegaduhan di dunia maya (media sosial) dalam bentuk pernyataan pro-kontra dengan kebohongan yang menimbulkan keonaran/kekacauan di secara nyata. Sifat atau keadaan keduanya adalah tidak sama. Begitupun pengaruh yang ditimbulkan juga berbeda.
Pernyataan tentang kondisi kesehatan Habib Rizieq Syihab yang menyatakan dalam keadaan sudah pulih/sehat bukan merupakan perbuatan tercela dan oleh karenanya tidak ada perbuatan melawan hukum. Ucapan tersebut adalah termasuk bagian dalam pikiran, sebab dirinya merasakan sudah sehat. Penilaian atas kesehatan diri sendiri adalah penilaian yang wajar sebagaimana penilaian pada umumnya seseorang yang merasakan sudah pulih dari rasa sakitnya. Dengan mengacu pada asas “cogitationis poenam nemo patitur” (tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya), maka pernyataan sehat Habib Rizieq Syihab bukanlah delik.
Pada prinsipnya kebohongan adalah bukan pidana. Kebohongan menjadi tindak pidana apabila dihubungkan dengan perbuatan lain yang dilarang dan bohong itu sebagai alat untuk memenuhi maksud/tujuan yang dituju. Jadi bohong untuk diri sendiri ranahnya adalah etika publik, moral, atau personal individu.
Pembentuk undang-undang menjadikan perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sebagai tindak pidana menunjuk pada akibat timbulnya keonaran di kalangan rakyat. Oleh karena itu, penekanannya bukan dari kebohongannya, namun dari maksud/kehendak orang menyiarkannya. Dengan kata lain, kebohongan itu memiliki kualitas tertentu dan motivasi tertentu pula. Adalah menjadi sesuatu yang aneh, apabila didalilkan timbulnya akibat kegaduhan di dunia maya sebangun dengan keonaran/kekacauan secara nyata di kalangan rakyat. Tidak ada keterpautan hukum antara terjadinya kegaduhan di dunia maya (media sosial) dengan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
(*Catatan: Habib Rizieq didakwa dan dituntut 6 tahun penjara oleh JPU dengan UU No.1 1946 pasal menyiarkan kebohongan yang menimbulkan keonaran -red)
Keterpatutan hukum adalah sebab sehingga dapat dilakukan penerapan hukum, akan tetapi tidak semua sebab dapat menjadi keterpautan hukum dan dengannya menjadi dasar penerapan hukum. Kebohongan sebagai sebab tentu mensyaratkan adanya akibat konkrit (in casu keonaran/kekacauan). Akibat yang disebabkan oleh sesuatu perbuatan tertentu, maka itu merupakan tanda atau petunjuk adanya keterpatuan. Keterpautan ini dalam dogmatika hukum pidana lazim disebut sebagai hubungan sebab akibat (kausalitas). Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan adanya hubungan kausalitas tersebut dan tidak ada satu pun alat bukti yang menerangkannya.
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana telah menunjukkan sendiri keterpautan hukum antara penyiaran atau pemberitahuan berita bohong dengan terjadinya keonaran. Disebutkan dalam penjelasannya, “Keonaran adalah lebih hebat dari pada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Kekacauan memuat juga keonaran.” Disini keterpautan menunjuk pada kondisi nyata timbulnya suatu keadaan, dimana banyak penduduk yang terguncang hatinya. Keonaran bukan dimaksudkan sebagai timbulnya rasa gelisah semata, sebab disebutkan lebih hebat dari pada kegelisahan dan bahkan disebutkan juga adanya kekacauan sebagai kondisi yang sama dengan keonaran.
Dalil kegaduhan di media maya sebangun dengan kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk tidak dapat diterima. Dalil demikian bukan termasuk isyarah (petunjuk) adanya keterpautan hukum.
Uraian yang terkandung dalam penjelasan tersebut menunjuk keterpautan hukum yang sangat jelas. Oleh karena sudah demikian sangat jelasnya, maka tertutup kemungkinan adanya keterpautan hukum yang lain. Dengan kata lain tidak membutuhkan adanya penafsiran lagi. Pembentuk undang-undang telah memberikan penjelasannya dan itu adalah tafsir otentik.
Menjadi jelas bahwa pernyataan sudah sehatnya Habib Rizieq Syihab bukanlah termasuk sebagai perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong. Tidak pula pernyataan tersebut diarahkan “dengan sengaja” menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Tidak terdapat suatu fakta di persidangan yang menunjukkan adanya penggunaan pikiran terdakwa secara salah. Dengan demikian tidak ditemui adanya wujud pikiran dan kehendak terdakwa untuk mewujudkan terjadinya suatu akibat berupa keonaran di kalangan rakyat.
Dalil yang menyatakan terbitnya keonaran di kalangan rakyat, adalah bukan saja dipaksakan namun juga mengandung adanya khayalan. Dapat dikatakan terdapat penggunaan pikiran yang salah dalam memahami unsur delik.
Keterpautan yang ditunjukkan oleh penjelasan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sudah secara pasti, tidak mungkin dapat dilakukan perluasan pengertian. Pemaksaan terhadap hal itu akan menjadikan hukum tidak memiliki kepastian dan merupakan pengingkaran terhadap aksiologi hukum “kepastian hukum yang adil”.
Jakarta, 23 Juni 2021.