Oleh: Among Kurnia Ebo
Apa kabar BEM UI? Setelah mereka memaparkan fakta-fakta obyektif dan menyimpulkannya secara metodologis lalu mengunggahnya di akun resmi mereka, ujungnya mereka dipanggil Rektorat. Publik sudah menduga pasti mereka akan "dimarahi" dan bukan tak mungkin akan diteror dan ditakut-takuti akan kena sanksi.
Betapa susahnya bicara kebenaran sekarang ini. Bahkan di dunia kampus yang seharusnya mengedepankan kritisisme. Berbasis obyektivitas data, sistematika argumentasi, dan kesimpulan yang metodologis. Baru mengungkapkannya sebentar sudah kena pemanggilan atau pemangkasan.
Otak kini dilawan dengan otot? Seharusnya itu tidak terjadi di kampus. Yang seharusnya mengandalkan pada kekuatan otak. Kekuatan argumentasi dan data. Bukan sebaliknya, dilawan dengan okol dan kekuasaan. Sebentar-sebentar dipanggil. Sebentar-sebentar disalahkan. Sebentar-sebentar diancam sanksi akademik.
Bagaimana logikanya, pikiran kritis justru dilawan dengan sanksi akademis. Kalau pikiran kritis itu terlahir di kampus, justru seharusnya mereka diberi penghargaaan, didorong terus untuk kritis, bukan malah dibungkam dengan alat-alat struktural. Kalau begitu caranya, otak akan mati di kampus. Kritisisme lenyap. Semua mahasiswa akan ketakutan berpikir dan memilih menjadi bebek. Kampus adalah tempat berpikir, menguji data, memperdebatkan argumentasi, mengasah nalar kritis. Karena dari situlah pemimpin-pemimpin bangsa yang hebat di masa depan bisa dicetak.
Semestinya dosen-dosen melakukan pembelaan serempak pada mahasiswa, pada BEM UI. Bukan hanya dosen-dosen kampus UI, tapi juga dosen-dosen semua kampus. Terutama UGM, yang sejak dahulu dikenal sebagai kampus kerakyatan dan kampus intelektual.
Di periode pertama dulu, seorang mahasiswa UI sudah memberikan kartu kuning langsung di depan matanya presiden yang dijuluki man of contradiction itu. Di periode kedua ini mungkin mahasiswa UI sudah mual dan nggak tahan lagi dengan kelakuan si raja ngibul itu, sebuah julukan yang melambangkan betapa anak-anak muda itu sudah mau muntah dan ingin memberikan kartu merah. Jika ada perbaikan kinerjanya, sudah pasti nggak bakalan ada predikat the king of lip service akan disematkan lewat akun resmi mereka.
Semestinya BEM dari kampus-kampus lain bereaksi dengan aksi BEM UI ini. Jika yang diungkapkan benar maka mereka harus berani serentak mengatakan kebenaran itu. Jika ada yang keliru, silakan dikoreksi di mana letak kekeliruannya. Jika kampus-kampus lain diam, tidak menentukan sikapnya, menjadi apatis dengan kegerahan yang terjadi, maka akan banyak orang meragukan benarkah kampus merupakan wadah berpendarnya intelektualisme? Apakah kampus sudah menjadi menara gading? Apakah kampus hanya menjadikan mahasiswanya kaum tunawicara? Bisu dan tuli atas fenomena yang terjadi?
Dulu ketika mahasiswa bergerak mengkritisi kelakuan Orde Baru, ada dosen dari UGM yang ikut mensuport mahasiswa dengan memberikan pidato di mana-mana, dari kampus ke kampus. Anda pasti kenal. Ya betul, dosen itu bernama Prof. Dr. Amien Rais.
Amien Rais menuliskan paper setebal 25 halaman yang diberi judul "Suksesi 1998 Sebuah Keharusan". Data dan argumentasinya yang lengkap dia bacakan dalam setiap orasinya.
Itu adalah dukungan moril dan sekaligus aksi yang nyata dari intelektual kampus. Maka seharusnya sekarang bisa lebih banyak lagi dosen yang bisa melakukan hal yang sama. Mendukung gerakan mahasiswa yang kritis dengan cara melengkapinya lewat penerbitan paper-paper yang jauh lebih akademis. Tapi masihkah ada harapan semacam itu?
Apakah kampus sudah mengalami quo vadis intelektual? Matinya nalar, lenyapnya diskursus akademik, dan gagal mengembangkan kritisisme yang sebenarnya adalah basic ilmu pengetahuan obyektif!!!(*)