Aparat atau Keparat?
Briptu Nikmal Idwar ini entahlah, apakah dia masih berpikir waras atau setan sudah menguasai dirinya. Dia sebenarnya diminta oleh keluarga korban, agar menjemput dan memastikan keamanan seorang gadis remaja. Remaja ini lari dari rumah. Pukul 01.00 dini hari remaja ini dijemput dari penginapannya dan dibawa ke polsek Jailolo Selatan.
Nah, dalam logika yg waras, remaja ini tentu harusnya dilindungi. Karena dia bahkan masih di bawah umur. Dipastikan aman hingga keluarganya menjemput. Tapi oleh Briptu Nikmal Idwar, apa yang dia lakukan? Alih-alih dilindungi, remaja tsb malah dia perkosa di kantor polsek tersebut.
Menjijikkan? Yes. Kok bisa aparat bertindak begitu? Simpel jawabannya: karena proses seleksi, pembinaan, dll berjalan ambyar. Sosok seperti dia lolos, jadilah polisi bejat.
Jaksa Pinangki contoh berikutnya. Sebagai keparat, eh aparat jaksa, tugas dia jelas sekali. Menegakkan keadilan. Tapi apa yg dia lakukan? Alih2 dia menangkap itu buronan, dia malah membantu buronan negara. Kacau sekali logikanya. Dan lebih kacau lagi saat masuk pengadilan. Ketika keparat, eh aparat penegak hukum seharusnya dihukum seberat2nya karena mengkhianati tugasnya, eh, malah ringan hukumannya.
Dan masih banyak lagi contoh2 ini, berserakan.
Di KPK, tempat yg selama ini bagaikan suci tak bernoda, ada penyidik yang seharusnya bertugas menangkapi koruptor, eh dia malah berkongsi sama koruptor agar mencari celah membebaskannya. Kok bisa?
Apa sih yang terjadi di negara ini?
Lagi2 sederhana. Seleksi menjadi aparat penegak hukum lemah sekali. Pembinaan lebih kacau lagi. Sistem pengawasan amburadul.
Begini saja deh, saya tantang seluruh polisi, jaksa, dan hakim test ulang. Tunjuk kampus seperti UI, atau UGM, fakultas psikologinya, mari kita test ulang semua. Mulai dari kompetensi dasar, hingga integritas, dll. Menarik sekali loh nanti hasilnya. Termasuk sipir penjara. Semua aparat yg terlibat dgn penegakan hukum di test ulang. Mungkin test TWK-nya banyak yg lolos. Tapi test yg lain, nah, baru seru.
Karena bukan apa2, kita perlu upaya2 ekstrem luar biasa kalau mau negeri ini lebih baik secara kongkrit. Tanpa itu, duuh Gusti, kita hanya akan terus mengulang siklus itu-itu saja. Yg tua pensiun, digantikan yg muda, sama saja. Kenapa? Lagi2, karena siklus itu dari awal memang ambyar. Dan celakanya, untuk mengakui hal ini saja kita tidak mau. Selalu bantah, bantah, dan bantah. Kita selalu merasa baik2 saja.
Samalah kasusnya dengan kacau balau data bansos. Tetaaap saja keukeuh bilang semua baik2 saja. Lupa, jika puluhan tahun, data itu ambyar. Mbok ya kenapa tidak ambil langkah ekstrem. Umumkan di sebuah website daftar lengkap semua penerima bansos. Berdasarkan domisili, RT, RW, dll. Siapapun bisa lihat daftar itu, dan bisa melaporkan nama2 yg bermasalah. Sekali nama itu dilaporkan lebih dari 2 orang, nama itu di hold, dilakukan survey lapangan oleh pihak independen. Terbukti sengaja bohong, ngaku2 biar dpt bansos, masuk penjara. Sementara yg melaporkan, kasih reward. Wah, sekali ini dilakukan itu data bisa bersih loh.
Termasuk soal penegak hukum ini. Mau kapan kita membiarkan orang2 bermasalah jadi 'sapu kotor' di sana? Coba minta semua polisi, hakim dan jaksa setor data rekening dan kekayaan milik mereka (termasuk rekening istri, anak). Tunjuk pihak independen memeriksa semua detail data itu. Lantas umumkan data itu dipublik, siapapun bisa lapor jika data itu bermasalah. Aparat yg menyembunyikan data, pecat. Yang tidak bisa menjelaskan dari mana hartanya, hanya bilang warisan, warisan dan warisan, periksa sedetail2nya. Wah, lagi2, kita bisa bersih2 aparat.
Sayangnya, langkah2 ekstrem ini tidak pernah laku.
Di negeri ini sepertinya prinsip telah berubah: korupsi tidak apa asal dikit; korupsi tidak apa asal tetap ada pembangunan. Aparat2 penegak hukum seperti Briptu Nikmal ini tidak apa. Jaksa seperti Pinangki no problemlah. Penyidik KPK yg terima suap, apa masalahnya? Tinggal diproses. Vonis. Diskon masa tahanan. Selesai. Besok terus terjadi, terjadi, dan terjadi. Apa masalahnya sih? Kok kamu rese?
Urus saja buku2 kamu yg tidak laku itu, Tere Liye.
(By Tere Liye, penulis novel 'Negeri Para Bedebah')
*sumber: fb penulis