Audit Dana Haji, Menjawab Kegelisahan Umat
Oleh: Tamsil Linrung (Anggota DPD RI, Ketua Kerjasama Parlemen Indonesia dan Arab Saudi 2017)
Audit yang dimaksud adalah audit dengan tujuan tertentu yang tidak hanya ditujukan kepada BPKH tapi juga kepada Menteri Agama yang bertanggungjawab atas penempatan dana haji tersebut, termasuk bertanggungjawab dalam pembatalan keberangkatan haji tahun ini.
Sontak, kita semua kaget. Pengumuman Menteri Agama begitu mendadak. Tak sampai dua bulan jelang musim keberangkatan haji, Yaqut Cholil Qoumas mengetuk palu: tahun ini tak ada pemberangkatan jamaah haji.
Seketika, masyarakat gundah, wabilkhusus calon jamaah haji. Gaduh tak dapat dihindari. Seperti biasa, media sosial menggeliat. Cerita lawas tentang dana haji untuk pembangunan infrastruktur kembali membuncah. Video-video lama diunggah, termasuk rekaman wawancara Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin yang menyinggung soal sukuk dan pemakaian dana haji bagi pembangunan infrastruktur.
Tidak cuma itu. Netizen juga mengunggah ulang potongan pidato Presiden Joko Widodo di sebuah acara. “Kemarin juga sudah kita lantik Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Ini juga sebuah potensi yang sangat besar. Ada kurang lebih 80-90 triliun, yang ini kalau dimanfaatkan dengan baik, ditaruh di tempat-tempat yang memberikan keuntungan besar, juga akan mempercepat pembangunan negara kita,” ujar Jokowi dalam video.
Pernyataan itu seperti membenarkan spekulasi yang berkembang. Maklum, yang bicara adalah manusia paling punya otoritas, orang nomor satu dan dua di republik. Tentu omongannya tidak melantur, meski konteksnya bisa saja berbeda karena diambil di waktu yang berbeda dari situasi saat ini.
Spekulasi menjadi semakin kuat ketika beberapa tokoh mensinyalr dengan gamblang. Ekonom Senior Rizal Ramli misalnya. Dalam sebuah tayangan video bersama Dedi Gumelar dan Gigin Praginanto, Rizal menyebut dana haji ditilep infrastruktur. Benarkah?
Menjawab kegelisahan publik, Menteri Agama menyatakan dana haji aman. Begitu pula dengan Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu.
Mereka yang duduk di pemerintahan kompak menelurkan narasi serupa. Saat berkunjung ke kantor BPKH, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memastikan bahwa laporan yang diterima dari BPKH, dana haji sebesar 150 triliun tidak digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Tak kurang, DPR juga menegaskan hal serupa.
Namun, spekulasi tak surut, malah terlihat kian liar. Kesan ini muncul boleh jadi karena penjelasan pemerintah tidak disertai data akurat. Masyarakat agaknya semakin rasional. Mereka tak hanya mencerna kata, tapi juga memburu fakta. Terlebih di masa perkembangan teknologi informasi yang memungkinkan publik mencari tahu sesuatu dengan cepat.
Bila kita membaca publikasi BPKH misalnya, dana haji disebut diinvestasikan dalam bentuk sukuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI). Dana yang diinvestasikan dalam bentuk sukuk negara masuk dalam keranjang umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan begitu, tidak ada yang bisa menjamin bahwa dana jamaah haji tidak digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Kepala BPKH Anggito mengatakan, dana kelolaan haji digunakan untuk investasi dan penempatannya di bank syariah. Sebanyak 69,6 persen dana untuk investasi atau senilai Rp 99,53 triliun dan 30,4 persen penempatan di bank syariah atau senilai Rp 43,53 triliun.
Di atas kertas, duit-duit jamaah memang tercatat dengan baik layaknya mekanisme perbankan pada umumnya. Ini hal yang wajar, sewajar Anda mendepositokan uang di bank, lalu merasa duit Anda aman, didukung bukti buku deposito. Soal duit itu ke mana dan digunakan untuk apa, itu bukan urusan nasabah, melainkan hak prerogatif pihak bank.
Nah, sekarang, muncul pertanyaan kritis. Bagaimana bila nasabahnya adalah kumpulan calon jamaah haji di bawah BPKH? Apakah mereka tidak punya hak untuk mengetahui ke mana saja duit-duit itu mengalir?
Pertanyaan itu mungkin terkesan mengada-ada. Namun dalam konteks syariah, ia punya logikanya sendiri. Duit haji adalah duit untuk beribadah sehingga pengelolaannya sebaiknya menghindari perkara yang samar alias syubhat. Syubhat bisa muncul karena banyak hal. Salah satunya adalah bercampurnya antara yang halal dan yang haram.
Peluang syubhat memungkinkan terjadi ketika duit calon jamaah haji masuk dalam keranjang umum APBN. Bila sudah di sana, terbuka peluang dana jamaah haji bercampur dengan dana proyek-proyek yang bertentangan dengan syariah. Sebutlah pajak minuman keras, klub malam, dan lain-lain.
Sebagai badan yang ditunjuk UU menerima amanat pengelolaan dana haji, BPKH sebaiknya peka dan mulai berpikir mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang menjadi pencetus kegelisahan umat. Begitu pula dengan Kemenag.
Saya tahu kepala BPKH Anggito Abimanyu cukup profesional. Dulu, saat menjadi Ketua Badan Anggaran DPR, saya sering berinteraksi dengannya, dalam kapasitas beliau sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal. Entah bagaimana dengan menteri agama. Saya tak punya pengetahuan lebih.
Yang jelas, baik Menag maupun BPKH, seharusnya tidak menjawab kegelisahan umat hanya dengan narasi uang mereka aman, tidak terpakai infrastruktur, dan seterusnya. Bahkan jika pun harus dipakai untuk infrastruktur, saya kira tidak masalah. Toh itu untuk kepentingan bangsa.
Jadi, masalahnya tidak di sana. Masalahnya adalah soal kepercayaan jamaah dan rakyat pada umumnya. Bila berbicara pengelolaan uang, memori kolektif rakyat akan terganggu dengan maraknya kasus korupsi. Bila berbicara infrastruktur, memori kolektif itu terusik oleh fakta-fakta pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran. Ambil contoh satu saja, bandara kertajati, misalnya.
Jadi, wajar kalau ada kekhawatiran di sana-sini. Psikologi rakyat harus dipahami dengan bijak.
Kini, di tengah kisruh yang berkembang, adalah momentum yang sangat baik bagi Kemenag dan BPKH untuk menunjukkan kebenaran perkataannya. Rakyat tengah menanti dan agaknya mulai tak sabar. Di ruang publik, mulai menggema tuntutan audit dana haji oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI dan konsultan dari kelompok Islam.
Desakan itu cukup logis dan lahir dalam momentum yang tepat. Sudah semestinya pemerintah menyambut baik, agar spekulasi tidak berkembang lebih liar. Lagi pula, bila BPKH dan kemenag meyakini duit jamaah terkelola secara prudent, aman dan terkendali, seharusnya tidak ada beban di sana.
Audit dana haji sekaligus menjernihkan semua soal.
Pertama, dana calon jamaah haji dapat terpantau mengalir ke sektor mana saja. Pemilik dana tak lagi harus khawatir syubhat.
Kedua, agar ada titik terang antara investasi dengan keuntungan. Selama ini pemerintah lebih banyak berbicara tentang duit jamaah yang diinvestasikan, tapi jarang berkomentar soal besaran nilai manfaat investasi yang telah diperoleh.
Ketiga, dan ini yang paling penting, audit BPK menjadi solusi memulihkan kepercayaan dan dukungan penuh dari rakyat untuk mengelola dana haji mereka.
Audit yang dimaksud adalah audit BPK dengan tujuan tertentu (bukan audit umum tahunan) yang tidak hanya ditujukan kepada BPKH tapi juga kepada Menteri Agama yang bertanggungjawab atas penempatan dana haji tersebut, termasuk bertanggungjawab dalam pembatalan keberangkatan haji tahun ini.
(Sumber: FNN)