[PORTAL-ISLAM.ID] Karena saya cerewet soal investasi Telkomsel ke Gojek Rp6,4 triliun, banyak yang bertanya apa pendapat saya tentang dampak merger Gojek-Tokopedia (GoTo) bagi kesejahteraan mitra ojol. Apalagi sepanjang kemarin ramai berita protes mitra terhadap kebijakan perubahan skema insentif.
Saya tahu ini topik sensitif. Sebab, kerap kali siapa saja yang mengkritik Gojek, dilabeli sebagai perusak dapur banyak orang, antiteknologi, tidak ngerti bisnis, dsb. Itu biasa. Labelisasi untuk mendegradasi kontraopini bisa jadi merupakan bagian dari skema bisnis yang bersangkutan.
Situasi makin sulit ketika berada dalam skenario terburuk akibat COVID-19 yaitu 3,78 juta orang akan jatuh dalam kemiskinan dan 5,2 juta kehilangan pekerjaan. Artinya adalah, dari sisi supply, Gojek tidak akan kekurangan. Banyak orang antre melamar ojol sebagai penyambung hidup.
Saya tertarik dengan laporan Kontan (Senin, 7 Juni 2021) yang mewawancarai anggota Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen.
Saat ini OJK tengah mempersiapkan Peraturan OJK mengenai penawaran umum perusahaan digital (new economy)—seperti GoTo. Bocorannya adalah akan diatur tentang kriteria calon emiten yang mencakup: karakteristik bisnis yang berbeda, pertumbuhan cepat, bisnis berdampak luas dan punya kontribusi signifikan terhadap perekonomian.
Apa ukuran KONTRIBUSI SIGNIFIKAN TERHADAP PEREKONOMIAN? Kata dia, jangan sampai kegiatan bisnis perusahaan TERLIHAT RAMAI, namun tidak berkontribusi bagi perekonomian. Termasuk juga dalam hal penciptaan LAPANGAN PEKERJAAN.
Bagi saya, kecil kaitan antara merger GoTo dan kesejahteraan mitra. Yang kita dengar soal valuasi jumbo dan prospek megabisnis adalah ilusi yang jauh dari kepentingan kesejahteraan mereka. Begini argumennya. Lihat posisi ojol di hadapan negara dan pemodal.
Ojol adalah warga negara sekaligus pembayar pajak. Sebagai warga negara, berhak menuntut pemenuhan hak dasar sesuai konstitusi yakni mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Di hadapan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (holding GoTo), mereka adalah MITRA. Hubungannya bukan seperti pekerja dan pemberi kerja yang dilindungi UU Ketenagakerjaan. Tapi mereka sekaligus adalah penopang pendapatan perusahaan (bagi hasil komisi) dan sebetulnya ‘pekerja inti’ karena tanpa mereka operasional perusahaan tidak berjalan.
Di hadapan PT Astra International Tbk, yang merupakan salah satu pemegang saham GoTo, mereka adalah KONSUMEN/PEMBELI produk dan jasa perusahaan. Mereka pembeli unit kendaraan/otomotif, layanan keuangan (leasing), suku cadang, asuransi dsb. Astra menyuntik modal per 2020 ke GoTo sebesar Rp10,1 triliun lewat PT Asuransi Astra Buana dan Rp3,5 triliun lewat induk Astra. Jika total investasi Rp13,6 triliun itu dibagi harga kendaraan per unit rata-rata Rp10 juta maka perlu laku 1,36 juta unit. Kasarnya begitu. FYI. Jumlah mitra driver saat ini 2 juta orang.
Begitu juga di hadapan AIA Financial dan Sequis Life, mereka adalah PASAR bagi produk-produk asuransi.
Bagi Telkomsel (pemegang saham GoTo), mereka pembeli produk layanan data dan seluler.
Ini juga berlaku bagi UMKM (merchant). Mereka penopang pemasukan perusahaan melalui skema komisi aplikasi 20% + Rp1.000.
Begitulah pertukaran bisnisnya. Secara operasional dilakukan melalui sistem algoritma tertentu yang—dalam bahasa Rest of The World—disebut “Only Gojek knows this mystery”. Sebuah studi menggunakan simulasi matematika di University of Zurich menyimpulkan semakin banyak mitra driver di sebuah kota, algoritma itu akan semakin menghasilkan ketimpangan pendapatan mereka. Otoritas China sudah semakin keras terhadap model bisnis ride-hailing dengan menyemprit Didi Chuxing dkk karena banyak komplain terhadap praktik bisnis mereka, terutama berkaitan dengan ketimpangan pendapatan.
Secara hukum GoTo tidak bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak pekerja karena mereka bukan pemberi kerja. GoTo juga bukan perusahaan transportasi dan ekspedisi, dia adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang maksud dan tujuan pendiriannya adalah 3 hal: penerbitan, jasa informasi, dan konsultasi manajemen.
Merger adalah strategi PENDANAAN BISNIS mereka. Merayu Telkomsel untuk suntik Rp6,4 triliun (skema obligasi konversi tanpa bunga), mengoleksi portofolio saham di bursa efek (Matahari, Blue Bird, Bank Jago), dan merencanakan IPO untuk menghimpun dana publik adalah manifestasinya.
Mereka sudah menghabiskan uang banyak untuk membentuk demand (diskon, bonus, promosi, subsidi) dan memelihara supply (ketersediaan mitra, merchant dsb), sekarang saatnya exit dan menarik untung. Tidak masuk akal jika mereka sudah habis banyak untuk membuat Mercy tapi mau dijual seharga Avanza.
Masalah utamanya itu tetap saja di pemerintah. Pemerintahan Presiden Jokowi yang gagal memenuhi amanat konstitusi untuk menciptakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warga negara. Dia memilih untuk menjadi TEMAN segelintir swasta dan secara langsung maupun tidak langsung ikut mempromosikan KETIDAKADILAN ekonomi melalui mekanisme bisnis digital ala mereka.
Mana jutaan lapangan kerja yang dijanjikan lewat UU Cipta Kerja? Mana pembangunan ekonomi pertanian yang katanya menjadi kekuatan negara agraris? Mana pembangunan ekonomi kelautan kita sebagai negara maritim? Mana pembangunan teknologi untuk membangun kekuatan riil ekonomi kita sendiri?
Kita butuh ekonomi riil yang tumbuh untuk secara nyata menciptakan lapangan kerja, bukan menciptakan mitra seperti sistem ojol yang tertutup dan menimbulkan ketimpangan.
Kita butuh lapangan kerja yang sesungguhnya, yang dilindungi undang-undang, ada jaminan perlindungan sosial, ada jaminan karier dan masa depan! Orang kerja bukan hanya untuk uang melainkan untuk meningkatkan MARTABAT KEMANUSIAANNYA.
Kita butuh pembangunan riset, mencetak SDM yang berkualitas, membangun pendidikan yang bagus dan adil.
Kita tidak butuh gempuran cerita tentang ilusi VALUASI.
Tapi dengan cara Presiden memerintah dan bergaul seperti sekarang, negara sedang tidak dibawa menuju ke arah kemajuan teknologi yang sebenarnya tapi direduksi cuma menjadi PELAYAN perusahaan teknologi tertentu.
Program Kartu Prakerja dan suntikan Telkomsel Rp6,4 triliun adalah contoh buktinya.
Salam Triliunan.
(Agustinus Edy Kristianto)