[PORTAL-ISLAM.ID] Kredibilitas pemerintahan Presiden Joko Widodo kian meredup. Dua program pemerintah, yaitu mengatasi pandemi Covid-19 dan memmompa perekonomian yang gembos, tidak menunjukkan progres positif. Padahal sudah menggunakan instrumen super extraordinary (UU 2/2020 dan UU 11/2020) dan menyedot anggaran ratusan triliun rupiah.
Menariknya, menurut Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M. Massardi, meskipun ini bukan rezim NU, tapi yang jadi bulan-bulanan publik atas terseok-seoknya roda pemerintahan adalah para pejabat trah Nahdliyin.
Mantan Jurubicara Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu memberi contoh. Hampir semua BUMN merugi. Tidak terkecuali yang primadona seperti PLN, Garuda, KAI dan Pertamina. Tetapi yang jadi bulan-bulanan publik, terutama di dunia maya adalah tokoh-tokoh NU.
Preskom PT Kereta Api Indonesia (KAI) Prof. KH. Said Aqil Siradj, misalnya, oleh salah satu netizen di akun twitternya dikomentari begini: PT KAI rugi besar karena Ketua Umum PBNU itu dianggap doanya tidak makbul.
Yenny Wahid, puteri Ketua PBNU (1984-1999) KH. Abdurrahman Wahid bukan hanya diolok-olok buzzer "tidak memiliki kapasitas jadi komisaris" dan penyebab kerugian PT Garuda. Bahkan ada media online yang menulis berita dengan judul: "Yenny Wahid Jadi Komisaris, Utang Garuda Indonesia (GAII) Bertambah Rp 50 triliun".
Sementara Basuki T. Purnama alias Ahok, Komut Pertaminan yang alami kerugian jauh lebih besar, nyaris tak disentuh buzzer. Seakan memang ada skenario untuk menimpakan seluruh kesalahan dan kerugian kepada tokoh-tokoh NU yang berada di kekuasaan.
"Pada akhirnya narasi negatif itu merembet ke NU, sebagai komunitas kultural (Nahdliyin) dan terutama NU sebagai ormas keagamaan," ujar Adhie Massardi, Senin (7/6).
Di sektor politik (pemerintahan) setali tiga uang. Anggota kabinet yang porsi olok-oloknya paling besar di ranah publik adalah Menko Polhukam Prof. Mahfud MD. Meskipun gegara rebutan posisi wapres tempo hari sempat tidak diakui sebagai orang NU, tapi masyarakat tetap melihatnya sebagai tokoh NU.
Wakil Presiden Prof. KH. Maruf Amin juga tidak luput dari olok-olok publik karena sejak jadi Wapres nyaris tak terdengar sikap politiknya terhadap berbagai persoalan bangsa, terutama terkait tekanan politik terhadap umat Islam dan para ulama.
Padahal sebelumnya, saat Ketua MUI, Maruf Amin sangat lantang membela Islam. Bahkan menjadi salah satu motor penggerak beberapa kali berkumpulnya jutaan umat di Monas, Jakarta, yang nuntut Ahok diadili karena menistakan agama.
"Akan tetapi yang paling telak dikritik dan jadi trending topik gegara pembatalan jemaah haji, adalah Yaqut Cholil Qoumas, tokoh muda NU pimpinan GP Ansor yang kini Menteri Agama," kata Adhie Massardi.
Adapun menteri-menteri lain meskipun banyak tindakkannya kontroversial, yang ngobral posisi direksi dan komisaris BUMN kepada orang Islamphobia, buzzer dan eks tim sukses pilpres, bahkan ada yang dirundung isu korupsi, tapi mereka diperlakukan baik-baik saja.
"Padahal banyak orang paham, tidak ada visi menteri. Jadi kebijakan yang dikeluarkan Menag Yaqut, termasuk soal pembatalan jemaah haji, adalah policy yang sudah didesain atasan. Yaqut hanya menyampaikan," tutur Adhie Massardi.
"Tapi hanya orang pemerintahan dari NU yang dibanjiri cemoohan. Buntutnya tentu cemoohan kepada komunitas dan PBNU sebagai ormas. Seakan memang ada skenario tersembunyi untuk membenturkan NU dengan masyarakat," imbuhnya menambahkan.
Melihat lebih banyak mudharatnya dibandingkan keuntungan politik dan keuntungan finansial yang pasti tak sebanding dengan risiko yang didapat, Adhie Massardi menyarankan tokoh-tokoh NU di pemerintahan untuk segera balik badan. Menjaga jarak dengan kekuasaan yang trendnya cenderung meredup.
"Sekarang saat yang tepat untuk kembali ke Khittah NU 1926, demi menyelamatkan NU, ormas Islam terbesar, aset bangsa dan pernah dicatat sejarah sebagai barisan terdepan dalam menyelamatkan NKRI, baik di masa penjajahan maupun dari saat NKRI terancam kekuatan komunisme pada medio 1960-an," ujar dia.
Adhie Massardi juga mengingatkan, dalam sejarah NU pernah secara kontroversial masuk dan keluar dari lingkaran kekuasaan. Menjadi bagian penting (agama) dari poros Nasakom (nasionalis, agama, komunis) yang dibangun rezim Soekarno, awal 1960-an.
Tapi pimpinan NU, KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rais Aam) dan KH. Idham Chalid (Ketua Tanfidziyah) waktu itu masuk ke lingkaran kekuasaan bukan demi jabatan, apalagi materi. Melainkan strategi politik untuk kemaslahatan negara-bangsa, dan terutama NU sebagai ormas keagamaan.
"Itu sebabnya ketika tiba saatnya, mereka tidak keberatan ninggalkan jabatan, untuk bersama TNI, umat dan rakyat Indonesia melawan komunis (PKI) yang merongrong eksistensi NKRI," terang Adhie Massardi.
Hal sama dilakukan KH. Achmad Siddiq (Rais Aam) dan KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziyah) PBNU. Yakni menerima asas tunggal Pancasila yang dikehendaki pemerintahan Orde Baru Soeharto. Padahal banyak politisi di kubu non-pemerintah menolak mentah-mentah.
"Dan sebagaimana pendahulunya, karena mendukung pemerintah sebagai bagian dari strategi politik menyelamatkan bangsa dan organisasi yang jauh lebih penting dari sekedar jabatan dan uang, maka ketika saatnya tiba, tidak ada keraguan bagi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) keluar dari orbit kekuasaan," kata Adhie Massardi.
Berada di luar pemerintahan membuat NU di bawah kepemimpinan Gus Dur menjadi pengawas atau pengingat pemerintahan. Dan ini ternyata jauh lebih efektif dan jauh lebih bermanfaat dan bermartabat.
Adhie Massardi berharap saran ini dipahami oleh keluarga besar NU yang sedang berada di lingkaran kekuasaan.
Saat ini NU lebih baik menempuh jalan seperti yang dilakukan Gus Dur dkk. Berada di luar kekuasaan sebagai pengingat dan pengawas roda pemerintahan, karena DPR sekarang kurang menjalankan fungsi konstitusionalnya.
"Dengan demikian, insyaAllah PBNU di bawah kepemimpinan Kiai Said di mata umat akan lebih bermanfaat dan bermartabat," ucap Adhie Massardi.[rmol]