Lion of The Court
Cuma pribadi tegar dengan mental kuat yang mampu bertahan dalam tekanan apa pun. Tidak banyak yang bisa demikian. Bukan saja karena ia yakin benar, dan bertahan dengan nilai yang diyakininya itu, yang menjadikan diri tegar.
Tapi lebih dari itu, ia pribadi yang meyakini bahwa Tuhan menyertainya dalam mencari keadilan. Semua yang di hadapannya dipandang biasa saja, bahkan kecil, tentu tidak dalam konteks mengecilkan. Karenanya, ia menjadi pribadi yang tidak bisa ditekan, bahkan acap menyerang balik dengan argumentasi telak.
Pengadilan Habib Rizieq Shihab mempertontonkan itu semua. Maka melihat sikap dan fisik yang kuat dengan beban tekanan psikologis yang luar biasa, ia masih tetap bisa berargumentasi dengan baik. Mentekel serangan jaksa penuntut umum (JPU) yang bertubi-tubi dengan emosi yang tetap terjaga, itu bukan perkara mudah.
JPU tampak kewalahan menangkis serangan balik dari “singa” satu ini. Mungkin seumur-umur mereka itu baru bertemu singa pengadilan (lion of the court) yang sebenarnya. Sebelumnya hanya menghadapi kelas kucing mengeong, yang saat dihadirkan di pengadilan hanya tertunduk lemas, dengan tubuh basah kuyup karena siraman air hujan.
Singa satu ini, meski ditekan dengan keras, bahkan jaring-jaring sudah disiapkan tidak saja oleh penuntut umum yang ada di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, tapi bisa jadi oleh tim induknya, Kejaksaan Agung, karena ini menyangkut nama baik Korps Adhyaksa.
Beberapa kasus yang disangkakan, mulai dari kerumunan Petamburan, kerumunan Megamendung dan RS Ummi, diikutinya satu persatu dengan tenang. Pastilah itu amat melelahkan, menguras fisiknya, tapi emosinya tetap terjaga, bahkan sekali-kali ia mainkan emosi jaksa penuntut umum, saat ia mampu tunjukkan bahwa tuntutan yang dikenakan itu mengada-ada.
Habib Rizieq Shihab benar-benar bintang pengadilan, dan itu mampu menjawab pertanyaan yang selama ini sulit dijawab, kenapa ia dengan keras mesti dimusuhi rezim ini. Dan pengadilan yang dipaksakan terhadapnya menampakkan arogansi kekuasaan, yang itu sebenarnya cuma balutan ketakutan pada sosok satu ini yang memang tak kenal kompromi.
Absurd melihat sikap JPU, yang tampak “dipaksa” mengenakan tuduhan dengan pasal berlapis, dan itu cuma pada masalah abai pada protokol kesehatan (prokes). Pasal-pasal tuntutan yang dikenakan menjadi seram, semata agar bisa menjerat memenjarakannya.
Sampailah saat salah satu tema dari penuntut umum mengatakan, bahwa apa yang dilakukan Habib Rizieq itu kejahatan. Maka saksi ahli yang dihadirkan terdakwa, Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara), lalu menyahut, jika demikian adili juga siapa saja yang melakukan pelanggaran prokes, termasuk presiden sekali pun. Maka sorak sorai pengunjung pengadilan membahana menertawakan argumen tebang pilih itu.
Singa Pengadilan yang Sebenarnya
JPU yang dihadirkan di pengadilan tampak tidak berkutik menghadapi “singa pengadilan” satu ini. Tidak terbayangkan, setelah permintaan keras terdakwa agar sidang dibuat offline. Dan itu dengan perjuangan luar biasa, sampai penuntut umum dan aparat kepolisian yang berada di Bareskrim Polri memperlakukan ulama satu ini dengan dorongan, tarikan dan seterusnya. Tapi terdakwa kukuh menolak dihadirkannya dalam sidang online.
Mestinya mental seseorang yang diperlakukan demikian akan rontok. Apalagi ini pengadilan yang tampak dipaksakan, yang sebelumnya dilatari dengan peristiwa terbunuhnya 6 laskar eks FPI, dan lalu pembubaran Ormas FPI yang didirikannya hampir dua dekade tanpa ada kesalahan yang mengharuskan pembubarannya. Ditambah kematian Ustadz Maher ath-Thuwailibi, seorang yang terseret karena membela Habib Rizieq, di tahanan Bareskrim Polri.
Tengah pengadilan berlangsung, ketua tim pengacaranya yang juga mantan pengurus pusat eks FPI, Munarman, ditangkap dengan tuduhan tidak main-main, terlibat aksi teroris. Pikirnya, dengan ditangkapnya Munarman, maka pasokan amunisi dalam berargumentasi dengan jaksa penuntut umum akan mengalami kesulitan. Nyatanya tidak.
Rasa-rasanya, dengan tidak bermaksud mengecilkan peran tim pengacara, tanpa dihadiri tim pengacaranya sekali pun “singa pengadilan” ini akan tetap menyalak dengan argumentasi menohok. Meski begitu beragam persoalan yang menderanya, tidak sedikit pun mengikis mentalnya. Tetap kokoh, menjadi sulit bisa dilogikakan.
Jika dipaksakan, tampaknya PN Jakarta Timur ini tetap akan memenjarakannya. Entah berapa lama, dari tiga kasus yang disidangkan, itu ia akan dipenjarakan. Semua akan mempersaksikan, bahwa keadilan dalam konteks pengadilan Habib Rizieq Shihab, ini adalah pengadilan prokes yang diperlakukan hanya untuknya seorang, tidak pada pelanggar yang lain.
Sebagaimana yang disampaikan penuntut umum secara tersirat, bahwa kasus pelanggaran prokes yang dilakukan Habib Rizieq Shihab itu adalah sebuah kejahatan, yang itu tidak berlaku sama dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain. Tampak perlakuan hukum yang diskriminatif, tidak adil.
“Singa Pengadilan” satu ini jika dipaksa harus dipenjarakan, maka rezim saat ini sepertinya sedang mengulang rezim otoriter Orde Lama, yang memenjarakan ulama Buya Hamka. Peristiwa yang dicatat sejarah dengan kelam, yang mustahil bisa dihapus selamanya.
Pilihan yang bijak dan memenuhi asas keadilan sebenarnya hanya satu, membebaskan terdakwa dari semua tuntutan jaksa penuntut umum. Apakah Majelis Hakim yang mulia, yang diketuai Suparman Nyompa, yang memimpin sidang dengan cukup bijak “berani” membebaskan terdakwa dari tuntutan sumir itu? Kita lihat saja nanti.
*Ady Amar, kolumnis, tinggal di Surabaya
(Sumber: LINK)