Catatan: Agustinus Edy Kristianto*
Ramai soal pengangkatan pengurus (direksi dan komisaris) BUMN dan banyak yang mengkritik tentang kompetensi dan rekam jejak sejumlah yang diangkat. ‘Gitaris bisa apa?” Begitu contohnya.
Seperti alur sinetron yang mudah diterka, bertebaranlah CV yang merinci jejak karier orang yang dikritik. Lalu debatlah yang terjadi. Sampai sekarang.
Saya tidak ke situ karena saya tahu ‘hukum’ kekuasaan: pemenang ambil semuanya! Mungkin kita yang terlalu polos dan pandir merumuskan pertanyaan.
Buat apa mempertanyakan kompetensi, moral, integritas, dan independensi. Memangnya pemerintah peduli betul dengan Good Governance?
Buat apa berdebat tentang memajukan BUMN sementara corak bisnisnya monopoli. Kalau di kelas hanya ada satu murid, dia pasti peringkat satu!
Buat apa melambungkan BUMN kalau kekuasaan cuma berlangsung sampai 2024.
Buat apa berdebat tentang kapasitas seorang komisaris untuk mengawasi jalannya perusahaan sementara pergantian dilakukan setiap 6 bulan sampai 1 tahun.
Buat apa mencari pengawas yang paham detail akuntansi/keuangan sementara sudah ada langganan kantor akuntan publik yang siap mengurus window dressing laporan keuangan.
Buat apa patuh penuh pada hukum kalau penegakannya bisa diatur melalui jaringan mantan pimpinan lembaga penegak hukum yang duduk sebagai pengurus.
Dengan begitu kita bisa memahami bagaimana kekuasaan bekerja. Negara ini seolah didesain untuk menjawab pertanyaan apa yang bisa negara berikan untuk saya.
Anda bisa cek sendiri. Tak hanya relawan dan pendukung tapi sekarang pada jadi apa bekas moderator debat capres, jadi apa para mantan pimpinan penegak hukum, jadi apa para konsultan capres pemenang, jadi apa beberapa pimpinan serikat buruh, jadi apa yang pernah disidang etik kasus pajak (bahkan asal tahu saja, mantan ketua tim penanganan perkara di KPK pun bisa pindah kapal jadi direksi di BUMN yang pernah diselidiki kasusnya oleh dia sendiri)... di 41 perusahaan BUMN yang ada. Masalah duduk di BUMN premium atau BUMN mini, itu soal lain dan masalah kesepakatan saja.
Distribusi butuh proxy!
Ingat, sekaya apapun Anda/grup usaha, masih jauh lebih kaya negara: Rp2000-an triliun/tahun, memiliki kewenangan memaksa, penentu regulasi. Makanya berkuasa itu enak. Tapi hidup tidak selalu masalah enak atau tidak enak, bukan?
Contoh pertanyaan yang masih masuk akal mungkin soal apa yang mereka dapat (bonus, insentif, tantiem dll), bagaimana cara membagi kepada kawanannya, dan apa yang akan mereka lakukan untuk kelompok mereka kembali berkuasa.
Jika satu komisaris BUMN dapat tantiem Rp10 miliar saja setahun, tentu itu tidak dimakan sendiri. Ada yang harus dibagi-bagi untuk pergerakan. Belum lagi memasukkan proyek, menjadi broker, jasa manajemen krisis, retain pendengung... Selagi berkuasa, ambil semuanya. Tak mudah meng-handle relawan. Kadang-kadang mereka rela, kadang-kadang melawan jika tak kebagian.
Itu tak hanya di BUMN tapi juga BUMD. Tidak hanya komisaris tapi juga direksi. Objektifnya adalah semaksimal mungkin negara membiayai (mengakuisisi) usaha kelompok supaya bisnis makin besar, nama melambung.
Tren sekarang adalah menuju IPO di Indonesia atau luar negeri. BUMN dimampatkan jumlahnya agar mudah dikontrol. Penempatan pengurus dilakukan untuk memuluskan tujuan itu. Laporan keuangan dibersihkan agar menarik minat orang ketika membaca prospektus. Kampanye media kontinu berlangsung supaya persepsi publik terbentuk positif. Perkara hukum diselesaikan secantik-cantiknya. Aset dibereskan (makanya ada tim pemberesan aset BUMN). Nanti kita-kita juga (ritel) yang disuruh beli.
Jadi ini semua bukan urusan abdi negara melainkan perkara bagaimana negara mengabdi kepada kelompok Anda.
Lalu rakyat kecil dapat apa?
Dapat bansos lah. Itu pun bansos bersyarat. Macam Prakerja (beli video di rekanan kami dulu, baru dapat bansos).
Salam.
___
*Sumber: fb penulis