[PORTAL-ISLAM.ID] Acara yang dihadiri anak dan menantu Presiden Joko Widodo hingga kunjungan Kepala Negara ke Kalimantan Selatan disinggung dalam pledoi atau nota pembelaan Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam perkara kerumunan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dalam pledoi yang dibacakan langsung oleh HRS di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, ia merasa aneh dengan pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyatakan bahwa pelanggaran protokol kesehatan (Prokes) Covid-19 sebagai kejahatan prokes.
"Andai kata benar pendapat Jaksa Penuntut Umum bahwa pelanggaran prokes adalah kejahatan prokes, maka berarti para pelanggar prokes di seluruh Indonesia, tanpa terkecuali, semuanya adalah penjahat," ujar HRS, Kamis siang (20/5).
"Termasuk semua tokoh nasional, mulai dari artis hingga pejabat, termasuk menteri dan Presiden. Mereka semua adalah penjahat dalam istilah JPU, karena mereka semua telah melakukan kejahatan prokes," sambungnya.
HRS pun membeberkan satu persatu pelanggaran prokes yang dilakukan oleh beberapa pihak. Mulai dari anak dan menantu Jokowi saat Pilkada 2020 di Solo dan Medan dianggap melakukan belasan kali pelanggaran prokes.
Kemudian anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Habib Luthfi Yahya di Pekalongan, kata HRS, sejak awal pandemi selama berbulan-bulan di setiap malam Jumat kliwon, menggelar pengajian rutin yang dihadiri ribuan massa tanpa jaga jarak dan tanpa masker.
"Bahkan sempat membuat pernyataan kontroversial di hadapan ribuan massa untuk mengabaikan dan tidak peduli wabah corona. Ini merupakan pelanggaran prokes yang dalam istilah JPU disebut kejahatan prokes," jelas HRS.
Ketiga, terkait acara pesta ulang tahun pengusaha, Ricardo Gelael, pada 13 Januari 2021 yang dihadiri mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan artis Raffi Ahmad, yang dianggap HRS terjadi kerumunan yang melanggar prokes.
Keempat, acara Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang digelar secara ilegal oleh Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko juga disebut HRS terjadi kerumunan dan melanggar prokes.
Kelima, pada 18 Januari 2021, Presiden Jokowi dianggap melanggar prokes karena memicu kerumunan ribuan orang tanpa prokes di Kalimantan Selatan. Hal itu, kembali diulangi Jokowi pada 23 Februari 2021 di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Yang keenam, lanuut HRS, terjadinya kerumunan di Ancol, Jakarta Utara yang dihadiri 39 ribu orang tanpa prokes di hari lebaran pada 14 Mei 2021 yang diakibatkan putusan pemerintah tentang larangan mudik tapi wisata dibuka.
"Jika benar pelanggaran prokes adalah merupakan kejahatan prokes sebagaimana pendapat JPU, maka berarti menurut istilah JPU tersebut bahwa para tokoh nasional tersebut di atas, termasuk Presiden Jokowi, adalah penjahat prokes," tegas HRS.
"Lalu kenapa para penjahat prokes tersebut di atas tidak diproses hukum dan tidak dipidanakan hingga pengadilan oleh JPU? Apa JPU sebagai penegak hukum boleh membiarkan penjahat tanpa proses hukum pidana? Bukankah membiarkan kejahatan tanpa diproses hukum pidana juga merupakan kejahatan? Apakah JPU juga mengkategorikan diri mereka sendiri sebagai penjahat yang membiarkan kejahatan?" bebernya.
HRS pun berpendapat, hal-hal yang disebutkannya di atas, termasuk Presiden Jokowi, bukanlah penjahat prokes. Tapi hanya pelanggar prokes.
"Begitu juga saya yang saat ini menjadi terdakwa pelanggaran prokes dalam sidang ini, bahwa saya diadili bukan sebagai terdakwa penjahat prokes, tapi saya diadili sebagai terdakwa pelanggar prokes," pungkas HRS.[rmol]