[Liputan Majalah TEMPO terbaru]
Raja Tekstil Sritex Terlilit Utang Hingga Rp 17 triliun
Nilai kas dan setara kas perusahaan Sritex naik dari US$ 168,3 juta atau Rp 2,4 triliun pada Desember 2019 menjadi US$ 187,6 juta atau Rp 2,7 triliun per Desember 2020.
Rupanya, kenaikan pendapatan itu dibarengi lonjakan utang. Total utang jangka pendek Sritex per 31 Desember 2020 mencapai US$ 277,5 juta, naik 410 persen dibanding pada akhir 2019 yang hanya US$ 67,5 juta. Lonjakan itu membuat total utang perusahaan per Desember 2020 mencapai US$ 1,179 miliar atau Rp 17 triliun—termasuk utang usaha perusahaan.
Beban utang jangka pendek Sritex yang terbesar memang berasal dari HSBC Indonesia, yakni senilai US$ 42,8 juta atau Rp 619 miliar. Deretan utang jangka pendek Sritex berturut-turut tercatat di PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (US$ 38,8 juta), QNB Indonesia (US$ 35,4 juta), PT Bank Muamalat Indonesia (US$ 29,6 juta), MUFG Bank (US$ 26,6 juta), Standard Chartered Bank (US$ 26,2 juta), dan Taipei Fubon Commercial Bank Co Ltd (US$ 20 juta).
Utang Sritex juga berserak di sejumlah bank lain, seperti Bank of China (Hong Kong) Limited (US$ 15 juta), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (US$ 12 juta), dan PT Bank Pembangunan DKI Jakarta (US$ 10,6 juta). Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk, PT Bank DBS Indonesia, Emirates NBD, dan Cathay United Bank punya piutang kepada Sritex masing-masing senilai kurang dari US$ 10 juta. Sebagian besar pinjaman jangka pendek ini jatuh tempo pada 2021.
Di luar itu, Sritex punya tanggungan utang sindikasi dari sejumlah bank. Total fasilitas pinjaman sindikasi ini mencapai US$ 350 juta Rp 5,052 triliun yang akan jatuh tempo pada 2 Januari 2022. Citigroup Global Markets Asia Limited, DBS Bank Ltd, HSBC Indonesia, dan The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited bertindak sebagai agen atau mandated lead arranger and bookrunner pinjaman tanpa agunan tersebut.
👉SELENGKAPNYA baca di Majalah Tempo edisi 1 Mei 2021