Menjawab Penulis Liberal Soal Puasa Perempuan Haid "Diskriminasi Gender"
Perempuan haid tidak boleh puasa, dianggap oleh kalangan feminis sebagai diskriminasi pada perempuan. Ini pemikiran keblinger, tidak paham fiqih Islam, sekaligus sangka buruk pada Syariah, Nabi, dan para ulama yang ijma' atas perkara ini.
Perlu dipahami oleh kalangan feminis semuanya, ibadah itu prinsip utamanya adalah ketundukan, ta'abbudi, sebelum ta'aqquli (rasionalitas). Pada sebagian perkara, ibadah bisa dicari hikmah dan tujuannya, namun tetap ia tidak bisa membatalkan hal yang telah ditegaskan oleh nash, apalagi yang 'dikunci' oleh ijma'.
Karena ia berisi ketundukan, maka apapun yang diberikan oleh Syariah, kita ikuti. Perempuan tidak wajib shalat jum'at, ikuti. Perempuan tidak wajib shalat jamaah di masjid, ikuti. Dan seterusnya. Termasuk, perempuan haid tidak perlu, tidak wajib, bahkan haram puasa, ya ikuti juga.
Dan ketaatan pada Allah ta'ala ini, baik dalam perintah maupun larangan, itu bernilai pahala di sisi Allah. Jadi perempuan haid yang tidak puasa, karena menaati Allah ta'ala, ia mendapatkan pahala. Bukankah ini kebaikan yang Allah ta'ala berikan untuk para perempuan? Tidak ngapa-ngapain, tapi dapat pahala.
Perempuan haid tidak boleh puasa, itu bukan diskriminasi atau penghinaan terhadap perempuan. Ia malah kebaikan bagi para perempuan itu sendiri. Setiap aturan Syariah, jelas membawa kebaikan dan maslahat bagi kita, baik itu kita ketahui atau tidak kita ketahui.
Kemudian, secara fiqih, ia bukan perkara yang boleh ada ijtihad padanya. Karena nash berupa Hadits Nabi (yang tidak cuma 1 seperti dimuat pada sebagian tulisan) secara sharih menyebutkan hal ini, kemudian para ulama ijma' atasnya. Dan ma'lum bagi setiap pengkaji fiqih dan ushul fiqih, tidak boleh ada ijtihad yang menabrak nash sharih dan ijma' ulama.
Wallahu 'aliimun hakiim.
(Ustadz Muhammad Abduh Negara)