[PORTAL-ISLAM.ID] Ronen Skaletzky, 60 tahun, adalah seorang Yahudi, mantan tentara Israel yang pernah bertugas selama tiga tahun, 1979-1982. Ia antara lain pernah terlibat dalam invasi Israel ke Lebanon pada tahun 1982.
Sekarang ia banyak aktif mempromosikan hak asasi manusia, perdamaian dan keadilan.
Ronen Skaletzky adalah anomali jika dibandingkan dengan orang Yahudi Israel pada umumnya. Ia menolak Zionisme dan menentang normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab. Maka, ia juga mendukung posisi resmi Pemerintah Indonesia yang tidak akan pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel hingga Negara Palestina merdeka, damai dan mendapatkan hak-haknya.
Ronen menegaskan beberapa negara mayoritas Muslim telah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dalam beberapa dekade, seperti Turki dan disusul negara-negara Arab Muslim lainnya.
“Solidaritas seluruh negara dunia terhadap Palestina termasuk negara Arab Muslim hanya sekedar kata-kata, ya hanya kata-kata,” ujar Ronen Skaletzky dalam wawancara eksklusif dengan wartawan senior Kantor Berita MINA, Rifa Berliana Arifin, via Whatsapp, malam ini Sabtu (22/05/2021).
Berikut ini adalah kutipan wawancaranya:
MINA: Apa posisi anda selama menjadi tentara Israel, adakah pengalaman anda selama bertugas yang dapat dibagi dengan MINA?
Saya bertugas di artileri Israel Defence Force (IDF) dari 1979 hingga 1982. Tugas saya adalah menghitung parameter penembakan dengan menggunakan data geofisika. Tidak ada yang spesial. 38 tahun telah berlalu sejak saat itu. Sekarang Tentara Israel modern tidak lagi mengandalkan meriam primitif. Sekarang sudah ada meriam yang tembakannya lebih akurat. Maka saya pribadi berpikir, menggunakan meriam saat ini dalam perang di permukiman adalah kejahatan perang, terutama bila ada senjata yang jauh lebih akurat tersedia. Mereka yang memiliki tentara modern yang menggunakan meriam di perkotaan tidak terlalu peduli dengan kehidupan sipil. Saya berharap ICC (Mahkamah Pidana Internasional) akan mengadili semua penjahat perang dari Israel, Hamas dan Jihad Islam. Saya berharap komunitas internasional akan menemukan cara untuk memaksa rezim Israel mendapat satu atau dua solusi negara berdasarkan hak asasi manusia, dan hukum internasional.
MINA: Sebagai warga Israel Yahudi, bagaimana anda menilai perang yang terjadi akhir-akhir ini antara Gaza-Israel yang menewaskan banyak korban kedua pihak. Apakah semua warga Israel setuju dengan perang ini?
Saya berumur 60 tahun. Selama 35 tahun terakhir saya mendedikasikan sebagian besar waktu luang saya untuk mempromosikan hak asasi manusia, keadilan dan perdamaian.
Pendapat saya tidak mewakili opini publik Israel. Pandangan saya diambil dari pandangan trans-nasional dan trans-religius.
Seperti kebanyakan orang di seluruh dunia, kebanyakan orang Yahudi Israel berfokus pada masalah mereka sendiri dan mengabaikan masalah dunia lainnya, termasuk masalah orang Palestina yang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Israel.
Bahkan mereka yang peduli pada Palestina tahu bahwa organisasi seperti Hamas ingin mendirikan negara Islam dari semua mandat Inggris atas Palestina, termasuk Israel juga (Hamas bertujuan memerdekakan Palestina seluruhnya, tanpa ada negara Israel). Karenanya, hampir semua orang Yahudi Israel mendukung pemerintah Israel atas perlakuan terhadap Hamas.
Ada minoritas kecil yang membedakan antara Hamas dan penduduk Gaza dan merasa kasihan pada penduduk sipil.
MINA: Sebagai mantan Tentara Israel, bagaimana anda melihat konflik Israel – Palestina yang sudah menahun, bagaimana peran Zionisme, apakah anda setuju dengan Zionisme?
Saya anti-Zionis. Saya tidak memiliki pandangan yang sama dengan kebanyakan orang Israel. Saya bertugas di IDF selama Perang Lebanon pertama (1982) dan secara pasif menolak mendukung aktivitas militer apa pun selama perang. Belakangan, pandangan saya berubah total dari pandangan yang saya dapatkan dari pendidikan di lembaga agama ultra-Zionis.
Kebanyakan orang Yahudi Israel berpikir bahwa Israel dapat menaklukkan Jalur Gaza dan menyingkirkan Hamas, tetapi itu akan memakan banyak nyawa tentara Israel. Mereka juga percaya Kubah Besi/Iron Dome (Sistem Pertahanan Udara Israel) ini dapat melakukan tugasnya dengan baik, sehingga mereka tidak memiliki masalah untuk berdiam diri beberapa tahun saat adanya perang.
Kecuali sejumlah kecil orang Yahudi yang sangat religius Anti-Ultra Zionis, semua orang Yahudi Israel lainnya tidak memiliki masalah dengan Zionisme. Mereka percaya Israel adalah tanah air kuno mereka. Orang Yahudi yang religius berdoa selama 2.000 tahun tiga kali sehari kepada Tuhan agar Tuhan mengembalikan mereka ke tanah air mereka seperti yang dijanjikan dalam Alkitab Yahudi. Zionisme mencoba mewujudkan impian ini tanpa mengandalkan Tuhan. Karenanya, kebanyakan Zionis bukanlah Yahudi yang religius.
Yahudi anti-Zionis atau non-Zionis sekuler hampir tidak ada di Israel.
MINA: Bagaimana pendapat anda tentang pemindahan Ibukota Israel ke Al-Quds (Yerusalem)?
Israel dari tahun 1948 mengklaim ibukotanya adalah Yerusalem. Dan Donald Trump merealisasikannya dengan memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke kota itu.
MINA: Israel terus menerus menjarah permukiman Palestina di Sheikh Jarrah, bagaimana anda memandangnya?
Menurut hukum Israel, orang Yahudi dapat meminta ke pengadilan untuk mendapatkan kembali properti apa pun yang dimilikinya sebelum tahun 1948 yang diambil oleh orang Arab.
Tapi Israel tidak membiarkan orang Palestina melakukan hal yang sama. Ketidakadilan inilah yang melatarbelakangi kemarahan rakyat Palestina dan kerusuhan di sana. Orang-orang Palestina yang tinggal di rumah-rumah kontroversial itu adalah pengungsi dari wilayah Israel, dan orang-orang Yordania memberi mereka properti untuk melarikan diri dari orang-orang Yahudi.
Orang-orang Yahudi yang mengklaim rumah-rumah tersebut adalah dari organisasi Yahudi rasis yang mendapatkan kepemilikan dari Wakaf Yahudi kuno serta ingin lebih sedikit orang Arab dan lebih banyak orang Yahudi di Yerusalem.
MINA: Bagaimana Anda melihat upaya normalisasi Israel terhadap negara-negara Arab Islam? Termasuk Indonesia, apakah mungkin itu terjadi?
Turki sudah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel selama beberapa dekade.
Bagaimanapun, tampaknya solidaritas dunia terhadap Palestina hanya sekedar kata-kata. Saya percaya komunitas internasional dapat berbuat lebih banyak untuk Palestina dengan mendukung Gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) dan menekan negara lain untuk berhenti berbisnis dengan Israel atau setidaknya memboikot bisnis Israel di wilayah pendudukan.
Saya meyakini tanpa dukungan aktif internasional, konflik Israel Palestina tidak akan berakhir.
Saya ingin melihat semua orang di seluruh dunia yang memiliki empati atas penderitaan orang lain bertindak untuk Palestina dan juga untuk mereka yang menderita di tempat lainnya karena ketidakadilan, seperti Yaman, Muslim Syiah, dan sekte Ahmadiyah di Indonesia.
Saya mendukung posisi Pemerintah Indonesia bahwa normalisasi dengan Israel barulah akan terjadi setelah terwujudnya kesepakatan damai antara Israel dan Palestina.
(Sumber: MINA)